Perkembangan kegiatan mendaki Gunung di Indonesia dewasa ini sangat pesat ini ditandai dengan makin banyaknya jumlah kunjungan Pendaki di berbagai gunung-gunung di Indonesia. Kegiatan yang tahun 90an kebawah hanya di dominasi oleh kelompok siswa/mahasiswa dan perhimpunan Pendaki gunung umum ini sekarang mulai banyak dilakukan oleh masyarakat biasa. Jelas ini adalah sebuah kemajuan, karena kegiatan mendaki gunung sudah bukan lagi dilihat sebagai sebuah kegiatan mubazir seperti padangan para orang tua yang melarang anaknya melakukan kegiatan ini di era 90an kebawah. Mendaki gunung sudah menjadi sebuah kegiatan wisata dan life style dewasa ini, plus minus dari perkembangan ini tentu ada namun yang pasti dari perkembangan ini telah membuka lapangan pekerjaan dan pendapatan baru bagi masyarakat di kaki gunung, bagi para pendaki gunung itu sendiri dan bagi bidang-bidang lainnya.
Seiring perkembangannya mulai bermunculan gaya atau style dalam menikmati kegiatan mendaki gunung, banyak terjadi perdebatan yang masing-masing pendapat berusaha untuk mendeklarasikan bahwa pakem mereka yang asyik dan mantul, yang lain tidak asyik atau sudah ketinggalan jaman. Bahkan ada yang parah mendefisikan bahwa kegiatan mendaki gunung di Indonesia itu Hiking bukan mountaineering. Mari kita kupas apa itu mountaineering. Mountaineering berasal dari kata mountaineer yang artinya didalam *) kamus lengkap bahasa Inggris – Indonesia adalah tukang mendaki Gunung, orang yang tinggal di Gunung. Sedangkan menurut Merriam-Webster Learner’s Dictionary adalah “a person who climbs mountain : a mountain climber.
Apapun style yang dilakukan saat mendaki Gunung itu bisa disebut dengan mountaineering. Jadi jika ada pendapat yang mengatakan bahwa mountaineering adalah kegiatan mendaki di gunung yang tinggi dan susah serta melibatkan peralatan teknis, selain dari pada itu bukan mountaineering. Pendapat tersebut adalah salah. Mountaineering adalah sebutan induk untuk semua cabang atau style kegiatan mendaki gunung, selama kegiatan itu dilakukan di gunung maka itu adalah bagian dari mountaineering. Dewasa ini sudah banyak style dalam mendaki gunung pada tulisan ini saya ingin membahas tiga gaya kegiatan mendaki gunung yang sekarang umumnya ada di Indonesia.
- Regular Hiking
- Ultralight Hiking
- Mountain Running.
Ketiga style mendaki gunung diatas saya bahas lebih pada behavior pelakunya dan sedikit membahas peralatan yang mereka gunakan, dan juga pada bahasan ini tidak memasukan elemen porter. Jadi murni usaha pendaki itu sendiri.
Regular Hiking.
Regular hiking ini adalah style mendaki gunung yang mempergunakan peralatan lengkap tanpa ambil perduli mengenai bobot peralatan tersebut. Mereka membawa peralatan lengkap dan logistik lengkap. Behavior pendaki jenis ini adalah sangat menikmati perjalanan pendakiannya, tidur di tenda yang nyaman makan makanan yang sebisa mungkin sama seperti makanan rumahan yang diolah dengan gaya memasak dirumah. Meski untuk mendapatkan semua itu tak jarang mereka harus membawa ransel dengan kapasitas besar yang terkadang bobotnya bisa mencapai 18 hingga 20kg. Pendaki style ini lebih memilih menggunakan tenda yang membuat mereka nyaman dalam berbagai kondisi yang akan dihadapi di gunung, meskipun tenda tersebut berbobot 2kg hingga 4kg keatas mereka tidak mempermasalahkannya, begitu juga dengan perlengkapan lainnya mereka akan membawa semua perlengkapan yang akan membuat mereka mudah dan bisa menikmati kenyamanan saat berada di Gunung. Pendakian dengan type ini yang dari dulu dan hingga sekarang ada di Indonesia. Kelebihan dari gaya ini adalah tidak memiliki keterbatasan untuk melakukan pendakian di medan yang panjang, medan panjang yang saya maksud disini bukan 4 atau 5 hari perjalanan tapi lebih dari itu, dan tanpa melakukan re-suply peralatan dan logistik. Contoh perjalanan pendakian ke Leuser. Style pendakian regular hiking ini tidak saya bahas panjang lebar karena style ini sudah umum dilakukan di Indonesia
Ultralight Hiking
Ultralight Hiking adalah kegiatan mendaki gunung yang mempergunakan peralatan ringan dan multifungsi, peralatan yang dibawa lengkap dan sangat memperhatikan bobotnya, ini dengan maksud agar meningkatkan daya jelajah yang lebih cepat. Style pendakian seperti ini berawal dari para Hiker di Amerika yang melakukan pejalanan panjang melewati rute hiking panjang di Amerika yang bahkan sampai lebih dari sebulan dua bulan, mereka menggunakan peralatan yang ringan dan multifungsi namun disana meskipun jalurnya berbulan-bulan tapi para hiker pada tempat-tempat tertentu bisa melakukan re-supply sehingga mereka tidak perlu membawa logistik untuk seluruh perjalanan secara keseluruhan. Style Ultraligh Hiking ini pernah saya kenalkan di Indonesia pada tahun 2006, dengan menerapkannya pada beberapa kali perjalanan ke Gunung Gede. Namun karena keterbatasan perlengkapan yang jenis ultralight pada waktu itu membuat saya tidak melanjutkan lebih jauh style gaya mendaki ini. Jadi style ultralight hiking ini menitik beratkan pada bobot peralatan yang dibawa. Pada style ini bobot ransel dipisahkan menjadi dua kelompok yaitu base weight dan consumable weight.
Base weight adalah peralatan yang bersifat tetap, atau peralatan yang selalu ada selama perjalanan tersebut, seperti: tenda, slepping bag, kompor, nesting, headlamp dan lain-lain.
Consumable weight adalah barang-barang yang jumlahnya berkurang setelah digunakan, misalnya logistik makanan, air minum, bahan bakar dan lain-lain.
Jadi base weight + consumable weight = berat ransel
Pada style ultralight hiking ini base weight biasanya berkisar 4 hingga 5 kg sedangkan consumable weight tergantung jumlah barang-barang konsumen yang dibawa tergantung lamanya perjalanan. Para pelaku style ini selalu berupaya mencari item-item perlengkapan base weight yang seringan mungkin untuk menekan total bobot base weightnya. Kelebihan style ini membuat daya jelajah lebih cepat dan juga tidak terlalu letih fisik sehingga selama perjalanan bisa lebih menikmati pemandangan, dibandingkan dengan membawa ransel 20kg yang sering membuat kelelahan selama dijalan dan membuat tidak terlalu menikmati apa yang ditemukan selama di jalan. Logistik makanan yang dibawa oleh ultralight hiker ini juga lebih simple dan cepat saji karena untuk penghematan bahan bakar. Proses memasak yang lama akan memerlukan bahan bakar yang banyak yang artinya merupakan tambahan bobot lagi. Namun untuk kondisi di Indonesia style ultralight hiking ini hanya efektif untuk perjalanan 5 hari maksimal karena lebih dari itu tentunya consumable weight bobotnya akan besar karena tidak bisa melakukan re-supply sebagaimana hal nya di amerika. Saya pernah melakukan sebuah perhitungan persiapan perjalanan dengan style ultralight untuk perjalanan 9 hari di gunung, meski base weight saya 5kg tapi consumable weight saya mencapai 8kg padahal untuk makanan saya sudah menghitung dengan makanan yang simple cepat saji serta gunung yang akan saya tuju memiliki sumber air yang berlimpah disetiap lokasi campnya artinya selama perjalanan hiking saya hanya perlu membawa air 2 liter untuk minum, kebayangkan beratnya consumable weight saya jika gunung yang dituju tidak memiliki sumber air di setiap lokasi campnya. Dengan kondisi diatas tadi maka perkiraan berat ransel saya 13kg, bobot 13kg untuk perjalanan panjang di medan yang turun naik menurut saya masih cukup berat untuk dibilang ultralight. Selain itu pada style ultralight hiking ini peralatannya juga sangat mahal, untuk tenda ultralight harganya bisa mencapai 2 bahkan 3 kali tenda biasa. Hal ini membuat para pelaku style ini di Indonesia menggunakan tenda bertipe tarp tanpa inner. Tenda tarp tanpa inner ini jelas akan mengurangi kenyamanan, karena gunung di Indonesia banyak serangga dan binatang melata. Meskipun ada tenda tarp yang memiliki inner tentu kenyamanan ruang huninya tidak akan setara nyamannya dengan tenda yang biasa, ada keterbatasan bergerak dan beraktifitas didalamnya. Meskipun begitu hal tersebut bukan menjadi penghalang bagi para pelaku yang menyenangi style pendakian Ultralight Hiking ini.
Mountain Running
Mountain running atau Trail Running, saya lebih suka menyebutnya dengan mountain running karena di Indonesia pelaku kegiatan ini lebih banyak melakukannya di gunung, lomba-lomba ultra trail running bergensi di Indonesia semua berlokasi di gunung. Pada mountain running, pelaku berlari mendaki gunung dan sampai puncak dan kemudian turun kembali berlari, umumnya dilakukan hanya dalam satu hari pulang pergi. Pelaku style Mountain Running ini juga memiliki peralatan standard safety didalam running pack mereka, umumnya peralatan tersebut berupa perlengkapan P3K, light jacket, makanan dan air, serta trekking poles. Pelaku kegiatan ini lebih cenderung dengan output akhirnya adalah mengikuti lomba trail running, selain itu ada juga pelaku kegiatan ini karena menyukai mendaki gunung dengan cara yang cepat tanpa membuang waktu lama dan harus membawa perbagai peralatan. Mendaki gunung gede yang biasa dilakukan dua hari, dengan mountain running bisa dilakukan satu hari bahkan setengah hari. Saya pribadi waktu pertama kali melakukan kegiatan ini pada tahun 2013 lebih menyukai sisi adventurenya, Meski sempat beberapa kali ikut race trail running tapi greget yang saya sukai adalah sisi adventurenya, Pelaku mountain running ini menurut saya juga merupakan pendaki gunung, yang medaki gunung dengan style mountain running, berlari kepuncak gunung lalu menikmati pemandangan kemudian turun kembali pada hari yang sama.
Ketiga style mendaki gunung diatas adalah merupakan bagian dari kegiatan mountaineering, karena kegiatan tersebut dilakukan di gunung dalam kontek mendaki gunung tersebut. Jadi perdebatan mengenai apakah sebuah style pendakian lebih baik dari pada yang lain adalah sebuah perdebatan pepesan kosong yang tidak perlu kita lakukan.
*) kamus karangan Prof. Drs. S. Wojowasito dan Drs. Tito Wasito W