“Yang tidak terucapkan jauh lebih bermakna dari pada yang diucapkan. Biarkan desau ilalang gunung yang menghantarkannya ke lelap tidurmu.”
Demikian sepenggal tulisan yang ku bubuhkan pada status facebook miliku, siang ini begitu panasnya padahal AC bus Damri ini sudah kencang berembus di atas ubun-ubunku. Perlahan tapi pasti bus ini menembus kemacetan tol dalam kota Jakarta menuju airport Cengkareng. Sementara di iPod kesayanganku mengalun “every breath” nya The Police, sebuah tembang milik grup band lawas asal Inggris ini mampu melambungkan anganku menjadi pedar-pedar yang tak berujung.
Pesawat yang akan membawaku ke Bandara Minangkabau di kota Padang akan berangkat jam 15.40 dan sekarang masih jam 2.10. Mhmm masih cukup waktu batinku sembari melayangkan pandangan pada kepadatan lalulintas didepan. Tadi si Dipa sudah telpon, ngasih tau kalo dia sudah sampai di airport, dan sebelumnya Asep telpon lapor kalo dia dan 7 orang teman lainnya dah sampe di Padang dan mau belanja kebutuhan logistik terlebih dahulu, lima menit yang lalu Mba Evi juga sms bilang dia dah di Cengkareng. Begitulah…, kami semua memang tengah dalam sebuah perjalanan, perjalanan bersama sahabat-sahabat tercinta yang memang secara annual yang diadakan oleh komunitas penggiat alam bebas highcamp the adventures, dan perjalanan kali ini adalah menuju puncak gunung berapi tertinggi di Indonesia yaitu Gunung Kerinci yang berdiri dengan ketinggian 3805m dari permukaan laut, gunung ini berada tepat diantara perbatasan Provinsi Jambi dan Sumatera Barat, Kerinci juga merupakan gunung berapi yang tertinggi di Asia Tenggara.
Belum habis alunan every breath nya the Police, Damri yang kutumpangi sudah sampai di terminal 3 bandara Soekarno Hatta. Setengah bergegas aku turun dan langsung menuju departure hall di pintu masuk bertemu dengan Mba Evi kemudian kami langsung ke checkin counter keberangkatan dan menyusul teman-teman kami yang sudah duluan menunggu di Boarding Gate, ada Bang Hendrik, Mba Deasy, Mba Endah, Dipa, Dian, Kesawan dan Hendrik SP. Sejam berlalu dan ternyata pesawat kami di delayed, apa boleh buat harus menunggu dan untungnya tidak sendirian sehingga waktu berlalu menjadi tidak terasa.
Arrival hall bandara Minang Kabau yang tadi sunyi segera dipenuhi oleh keramaian para penumpang pesawat yang aku tumpangi untuk menunggu bagasinya. Dari arah pintu keluar tampak hari sudah gelap, ah kasihan teman-teman lama menunggu, aku bergumam sendiri.
“anak-anak pada nunggu dimana ya bang”, suara Hendri SP memecahkan keterdiaman aku saat menunggu bagasi keluar dari conveyor belt.
“Tadi gue sempat telpon Asep saat baru turun dari pesawat, katanya mereka menunggu dibagian sebelah kiri terminal dekat pintu keluar.” jawabku, memang tadi saat turun pesawat aku sempat menelpon Asep salah seorang peserta pendakian bersama ini yang telah duluan sampai di Padang karena jadwal keberangkatan mereka lebih dahulu dari pada kami. Tidak lama berselang kemudian kami semua sudah mendorong bagasi kami menuju pintu keluar dan kemudian saat sampai di bibir pintu exit tampak wajah yang sangat dikenal menyembul dikerumunan orang banyak, ya Qim tampak dengan wajah ceria menyambut kami, kemudian kami segera menuju ketempat teman-teman yang sudah menunggu sedari siang tadi, satu persatu aku salami ada Lili Bandung, Tina, Maman, Dery, Indra, Sigit, Ermil, Asep, Zaidi si anak Penang, serta lima orang teman baru dari Singapura yang baru aku kenal yaitu, Ahtapon, Antony, Luisa, Zac dan Teo. Sementara rombongan yang datang berbarengan dengan saya juga segera larut dalam suasana hangatnya persahabatan. Setelah sedikit berkenalan dan absensi seluruh peserta tiga bus mini yang kami naiki meluncur membelah kota malam kota Padang, menuju titik awal pendakian kami yaitu Desa Kersik tuo yang terletak di perbatasan antara provinsi Jambi dan Sumatera Barat. Untuk mencapai gunung Kerinci memang lebih mudah dari Padang, karena meskipun gunung ini terletak di Provisi Jambi, namun berjarak lebih jauh, lebih dekat ke Kota Padang dibandingkan ke kota Jambi disamping itu juga jalan yang jauh lebih mulus dari kota padang dibandingkan dari kota Jambi. Seingat saya terakhir saya ke gunung ini adalah tahun 1996 dulu berdua bersama teman saya dan kami masuk dari arah kota Muara Bungo yang terletak di lintas Sumatera, lumayan jauh. Jika dari Padang untuk mencapai Kayu Aro dimana desa Kersik Tuo ini berada kita akan melewati jalan Sitinjau Laut kearah Solok Selatan dan kemudian terus melewati jalan yang dikenal dulu dengan sebutan jalan proyek sopan. Perkiraan saya jika kami meninggalkan padang sekitar jam 8 malam makan pagi kami akan sampai di Kersik Tuo. Setelah mengisi perut di sebuah rumah makan di kota Padang perjalanan malam kamipun dimulai, perut sudah kenyang kantuk menyerang dan tak lama beberapa teman semobil sudah larut dalam labuhan mimpi mereka masing-masing.
Sesekali aku terbangun karena supir kami agak ngebut membawa mobil ini, sebelum memasuki Solok Selatan mobil kami berhenti di sebuah warung di sebuah kebun teh. Udara dingin sekali, disini agaknya kami sudah memasuki dataran tinggi. Setelah perhentian ini seingatku ada berapa kali mobil kami berhenti, tapi aku tidak terlalu mengubrisnya kembali ku terlarut dalam lelap tidur yang menghantarkan mimpiku bertemu seraut wajah yang selalu terus mengisi benak ini selama beberapa bulan belakangan ini.
“Mas, dirumah Pak Paiman atau dirumah siapa?” sebuah suara membangunkanku, dan ternyata supir disebelah membangunkanku, aku sedikit nanar menatap keluar jendela, maklumlah kesadaran belum pulih benar.
“Dimana ini pak?” aku balik bertanya, sambil merapatkan jaket karena udara dingin yang menusuk kulit langsung menyerbu ku saat membuka kaca jendela mobil.
“sudah di Kersik tuo, itu tadi simpang macan sudah lewat, rumah yang dituju yang mana?” tanya dia lagi, kemudian salah seorang supir mobil yang lain menghapiri mobil kami.
“dirumah siapa tujuan kita” tanya dia kepada ku
“rumah pak Paiman” sahutku
aku menatap rumah yang berjejer disebelah kiri mobil, tak satupun dari bangunan itu yang menyerupai rumah Almarhum Pak Paiman yang sudah aku kenal dari tahun 80an.
“bukan disini” lanjutku lagi
“iya bukan masih disana,” lanjut si supir yang datang tadi
“ayo ikuti saya, lanjut kedepan sedikit, saya tau rumahnya” ujar dia sambil berjalan balik ke mobilnya didepan.
Dan tak lama kemudian, kami pun berhenti didepan rumah yang bertuliskan “Homestay Paiman” tak salah lagi ini memang rumahnya ujarku dalam hati, dan kamipun menurunkan ransel-ransel kami, seorang anak remaja menemuiku keluar rumah dan ternyata dia adalah Andi, cucu dari pak Paiman yang selama ini berhubungan dengan aku via telpon. Aku melirik jam ternyata jam tiga dini hari, bukan main supir ketiga mobil yang kami carter ini pasti ngebut sekali bawa mobilnya. Rupanya kamar di Homestay pak Paiman semua sudah terisi, hanya 4 kamar diatas yang kosong dan ternyata bu Paiman sudah menyiapkan kasur yang dihaparkan diruang atas mirip asrama cowok, kami happy-happy saja dan beberapa dari kami mulai kembali tertidur sambil menarik selimut tebal untuk mengatasi udara dingin desa Kersik tuo dini hati itu.
Megah sekali, gumamku menatap sosok Gunung Kerinci yang jelas terlihat pagi itu dari depan rumah pak Paiman, masih pagi sekitar jam 6 pagi, namun seperti pagi kemarin saat sampai disini, kesibukan jalan didepan rumah ini sudah terlihat, lalu lalang angkot dan sepeda motor yang mengangkut anak sekolah serta orang yang akan keladang menghiasi pagi yang segar di desa yang terletak di kaki gunung Kerinci ini. Ini hari yang kedua kami di Kersik Tuo tepatnya hari Sabtu 18 jULY 2009. Setelah seharian kemarin kami beristirahat sambil berbelanja kekurangan logistik dan bekal untuk mendaki Kerinci ke kota Sungai Penuh yang terletak satu setengah jam perjalanan kendaraan dari Kersik tuo. Seperti kemarin, pagi ini langit cerah sekali biru bersih sehingga kegagahan Kerinci semakin mentereng diantara hamparan kebun teh yang ada di bawahnya. Kami memang akan memulai pendakian sepagi mungkin, dan mobil pickup yang akan membawa kami ke batas hutan sudah siap angkut, tanpa membuang waktu aku dan teman-teman lainnya mulai sibuk menaikan ransel-ransel kami keatas pickup ini, jumlah kami yang cukup banyak membuat mobil pickup imut ini harus dua kali mengantarkan rombonganku kebatas hutan. Pagi yang segar dan mentari yang masih bersahabat sinarnya semakin membangkitkan semangat kami termasuk semangat narsis teman-teman untuk foto-foto, dan setelah berdoa bersama, maka mulailah perjalanan untuk menyentuh puncak gunung api yang tertinggi di asia tenggara ini dimulai.
Aku mengatur agar rombongan porter yang kuat untuk jadi tim sweaper, dalam rombongan kami ada enam orang yang memakai porter lokal, namun tidak seperti gunung lainnya di Indonesia, porter di sini cukup mahal tarifnya yaitu Rp.250.000 perhari nya untuk satu orang porter dan itu belum termasuk uang makan mereka yang dihitung Rp.15.000 untuk sekali makan per orangnya. Namun mereka sangat kooperatif sekali, Andi cucu pak Paiman ikut dan bertindak sebagai kepala porter yang tidak lain adalah teman-teman dia di Kersik tuo. Pos I dan Pos II kami masih bisa capai dalam waktu yang bersamaan namun memasuki Shelter I rombongan mulai terpecah menjadi dua rombongan. Ada perubahan yang cukup besar semenjak pendakian terakhir aku tahun 1996 lalu yaitu adanya Pos I dan Pos II dulu seingat saya
Pos I hanya berupa tanah datar namun Pos II tidak ada, dan shelter I dulu saya anggap Pos II, dan bahkan katanya Pos yang saya kenal dengan sebutan Pondok Berangin sekarang disebut dengan Shelter II.
Masih sekitar jam sebelasan siang saat kami sampai di shelter I dan sejenak istirahat kami kembali melanjutkan perjalanan, aku meminta seluruh rombongan untuk berhenti dimana saja saat jam 12 siang untuk makan siang dan sejenak istirahat, karena jika saling menunggu akan membuang waktu, sengaja aku membiarkan peserta untuk melangkah sesuai dengan ritme mereka masing-masing agar tidak ada yang merasa terpaksakan. Didepan kami, Zaidi, Anthony dan Luisa serta satu porter sudah cukup jauh jaraknya, sedangkan aku, Zac dan Hendri SP saat ini tengah berjuang melewati tanjakan dari Shelter I menuju Shelter II dan aku perhatikan sepertinya kondisi tanjankannya semakin terjal dan curam seingat saya dulu tidak sebegini parah. Jalan setapak yang mirip parit sempit dan dalam ini membuat pendakian terasa begitu berat. Menjelang shelter II disebuah parit dan cukup tinggi saya sempat terjatuh karena akar yang tempat saya bergantung untuk melewati tanjakan ini putus dan tak ayal lagi badan saya terhempas kedasar parit itu, cukup tinggi, untuk saya sigap memutar posisi sehingga bisa jatuh terlentang dan badan saya bisa terlindung ransel sehingga tidak langsung menghujan pada batu-batu tajam yang ada didasar parit tersebut. Cukup lama saya terlentang dalam posisi jatuh tersebut, dalam hati saya masih bersyukur, masih bisa membuat gerakan memutar sehingga bisa terselamatkan dari cedera parah, meskipun sekelebat bayangan seseorang yang muncul sesaat sebelum aku jatuh sempat membuyarkan kosentrasi, namun insting survive aku agaknya masih bisa diandalkan, dan aku bersyukur untuk itu. Setelah berdiri aku sedikit merasakan ngilu pada lutut yang terbentur diding parit dan pantat yang sedikit terantuk batu. setelah berdiri aku merasakan tidak ada cedera serius, syukurlah.
Sesampai di shelter II, Ahtapon memberikan gel untuk cedera otot untuk dengkul dan pantatku yang sedikit terasa ngilu, dan ternyata cukup manjur. Aku takjub melihat kondisi shelter II yang dulu dikenal dengan sebutan pondok berangin ini, sudah rimbun sekali, dulu aku ingat lokasi pondok yang tinggal tiang besi ini cukup terbuka namun sekarang sudah rimbun, dan yang lebih membuat takjub lagi adalah kondisi jalan setapak menuju shelter III yang sangat parah, yaitu berupa sebuah gorong-gorong alias parit dalam yang menanjak tanjam. Belakangan aku tahu ternyata hampir semua rombonganku ampunan-ampunan saat mendaki di etape shelter II ke shelter III ini.
Menjelang jam 5 sore akhirnya aku, Hendri SP dan Zac sampai di Shelter III menyusul, Zaidi, Anthony, Luisa serta satu porter yang telah dulu sampai, tampak satu tenda yaitu tenda Zaidi sudah berdiri, tanpa membuang waktu aku segera mendirikan tenda, tak lama kemudian teman-teman yang lain mulai berdatangan datang, kami pun bahu membahu mendirikan tenda, lokasi shelter III ini terbuka dan terpaan angin cukup kencang sekali membuat kami harus benar-benar ekstra hati-hati saat mendirikan tenda agar tidak merusak frame-frame tendanya. Selepas Magrib seluruh rombongan sudah lengkap, kami lelah sekali dihajar rute pendakian Kerinci yang terjal terutama gorong-gorongnya yang cukup menyulitkan untuk dilewati apalagi jika membawa ransel besar. Terutama sekali untuk etape pos II ke pos III ini, sangat menguras tenaga karena selain berbentuk parit gorong-gorong, juga untuk pijakan dan jakauannya sangat tinggi-tinggi, seingat aku dulu tidak sebegini terjal.
Gelap malam mulai menyelimuti Gunung ini, suara kepakan lembar flysheet tenda semakin keras terdengar dihantam angin yang semakin kencang bertiup, temperatur pun semakin turun. Ini adalah musim kemarau dan malam musim kemarau di puncak gunung suhu bisa turun drastis sekali, aku melirik termometer yang tergantung di vestibule (teras) tenda ujung air raksanya berada pada garis 4 derajat celcius dan jika kita kalkulasikan dengan faktor kecepatan angin yang berhembus saat ini (wind chill) pasti suhu yang sampai ditubuh kita bisa lebih rendah lagi. Misalnya dengan suhu sekarang yang 4 derajat celcius taroklah angin yang berhembus sekarang berkecepatan 5 mil perjam maka suhu yang sampai ke badan kita akan semakin dingin yaitu menjadi -3 derajat celicus. Aku mencoba melongok sebentar keluar tenda, rata-rata teman-teman semua mendengkam berlindung di tenda masing-masing namun detingan nesting atau panci alat masak mereka menandakan aktifitas mempersiapkan makan malam tampaknya tengah berlansung di setiap tenda. Sedang ditendaku karena rasa capek yang mendera aku, Maman dan Qim memutuskan untuk memakan nasi sisa tadi siang saja, tidak ada keinginan untuk memasak makanan, untunglah tadi maman sempat memasak teh manis sewaktu saya dan beberapa teman lainnya tengah membantu beberapa teman yang mendirikan tendanya, jadi perutku sudah sempat terisi minuman hangat. Malam semakin jauh beranjak perlahan kamipun mulai terlena dalam dekapan kehangatan sleeping bag masing-masing, kerena perlahan terlelap deru angin diluar sana pun semakin lama semakin tak terdengar dan akhirnya bagai simpony pengantar tidur yang mengatarkan mimpiku bertemu dirimu, “kangen” ya.., kata itulah yang selalu bermain di benakku dan bahkan dalam tidurku yang lelap.
Suara percakapan orang berbahasa inggris membangunkan tidurku rupanya suara Anthony dan istrinya Luisa yang persis disebelah tendaku, aku melirik jam tanganku dan angka digitalnya adalah 4:15
“wah dah pagi” gumam ku
masih ada rasa malas untuk bangun, tidurku belum puas kucoba memejamkan mata lagi, semalam sebelum beranjak tidur Ahtapon, salah seorang peserta pendakian bersama ini yang berasal dari Singapore sempat menanyakan rencana summit attack kami, semula aku merencanakan berangkat jam 4.30 namun setelah melihat kecepatan dia dan rombongannya saat mendaki saya menyarankan dia dan teman-temannya untuk berangkat agak siangan saja , karena jika mereka berangkat pagi sekali maka akan cukup lama mereka menunggu yang lainnya untuk sampai di puncak, jelas ini akan membuat mereka kedinginan. Sebagaimana kebijakanku kemaren, aku sengaja membiarkan para peserta bergerak menurut pace mereka masing-masing. Dengan begitu mereka bisa lebih baik daya tahan atau endurancenya selama pendakian. Aku masih berbaring dalam sleeping bag, rasa malas untuk bangun disebabkan karena ini adalah kali yang kesekiannya menjamah puncak Gunung ini. Namun mengingat janji untuk membawa teman-teman kepuncak, akhirnya aku bangkit perlahan, sementara Maman juga sudah bangun, sedangkan Qim tetap masih tidur karena memang dia katanya tidak berniat untuk naik sekarang. Perlahan aku mulai bersiap untuk keluar, setelah memakai jaket dan sepatu saya perlahan keluar, beberapa teman tampak sudah bersiap-siap angin masih kencang bertiup aku merapatkan hood parka yang aku pakai agar kepalaku terlindung dari terpaan angin. Hampir semua rombongan kami akan summit attack pagi ini, kecuali rombongan Ahtapon, mereka semua akan naik jam 7 pagi, dan Asep juga Qim akan naik jam 7 pagi juga. Selesai berdoa bersama kami pun mulai melangkah beriringan menembus udara dingin berangin pagi hari, jam menujukan tepat jam 5 pagi. Iring-iringan cahaya headlamp kami tampak bergerak menapaki gigiran punggungan gunung kerinci ini bagai sekawanan kunang-kunang. Aku berjalan di paling depan bersama Zaidi, Maman dan Hendri SP. Seiring langkah kami naik menapaki jalur pendakian, perlahan dan pasti semburan cahaya mentari di ufuk timur mulai menerangi gunung Kerinci, semakin lama semakin terang sehingga di bagian barat terlihat bayangan gunung ini yang menjulang meruncing. Beberapa kali aku istirahat sambil tetap memantau pergerakan teman-teman yang tadinya rapat sudah mulai terpecah jadi beberapa kelompok. Melewati daerah dataran yang dulu dikenal dengan puncak tipu dan sekarang dikenal dengan sebutan Tugu Yudha (disini terdapat monumen peringatan meninggalnya seorang pendaki asal Jakarta) mentari sudah semakin tinggi, tinggal satu etape tanjakan lagi. bau belerang terasa menyengat hidung dan memerihkan mata. Mudah-mudahan gunung ini tetap diem, perlahan aku membatin sendiri, soalnya Gunung ini masih dalam status siaga, badan pengawas gunung berapi indonesia belum mengeluarkan status aman didaki untuk gunung ini, namun karena keinginan teman-teman untuk mendaki gunung ini dan informasi dari teman-teman di Kersik tuo yang mengatakan sudah banyak yang mulai mendaki sampai puncak dan aman, membuat saya sedikit nekat untuk tetap membawa teman-teman mendaki gunung ini. Tapi keputusan itupun aku ambil setelah mendapat informasi yang jelas dari Andi yang merupakan cucu dari almarhum Pak Paiman pemilik losmen tempat kami menginap di Kersik Tuo. Andi sering menjadi guide atau porter para pendaki, minggu sebelumnya dia sudah mengantarkan beberapa pendaki hingga puncak.
Sekitar jam enaman aku, Zaidi, Maman dan Hendro SP sampai dipuncak, bau belerang begitu menyengat dan memerihkan mata saat kami mencapai gigiran kawah, tapi saat berjalan kearah puncak yang ada bendera merah putihnya bau belerang tersebut tidak terasa karena arah angin yang bertiup kearah timur laut telah meniupnya. langit cerah biru berawan, hamparan awan bagai karpet putih tampak dibawah kaki kami, foto-foto adalah menu selanjutnya. Suara azan berkumandang dari mulut Zaidi, dia selalu azan setiap sampai dipuncak gunung. Satu persatu teman-teman mulai sampai dipuncak, dan semakin siang bau belerang yang menyengat hidung dan memerihkan mata kembali terasa, aku dan teman-teman yang sudah sampai di puncak terus menunggu teman yang lainnya untuk sampai dipuncak.
Matahari terus naik bersinar dan semakin tinggi, semua teman-teman sudah berada dipuncak bahkan rombongan Ahtapon sudah dari tadi, Zack yang suka foto loncat-loncat mulai lagi kebiasaannya itu berfoto loncat di puncak, mba edah yang alon-alon asal kelakon sudah dipuncak juga. Kami kemudian foto bareng, sebetulnya masih ada dua lagi yang belum sampai puncak yaitu Asep dan Qim yang masih berjuang di punggungan tanjakan menuju tugu Yudha. Aku memutuskan untuk mengajak teman-teman yang sudah lama dipuncak untuk segera turun dan satu persatupun kita mulai beranjak turun.
“ayo Sep, dikit lagi” aku menyemangati Asep saat berpapasan.
“iya nih” jawab asep dengan senyum khas nya
sibelakang nya tampak Qim ditemanin Andi, Qim terlihat sedikit lelah, tapi saya yakin dia akan sampai puncak.
“ayo Qim sudah dekat” aku juga menyemangati dia. Qim hanya senyum dan menghela nafas, dan kembali berusaha meneruskan pendakiannya.
Hanya sekitar kurang lebih 30 menit kemudian kami sudah sampai di lokasi camp di shelter III, View yang lepas dari lokasi ini membuat betah padangan mata, jejeran lapisan perbukitan Bukit Barisan dan si sebelah timur tampak gunung Situjuh dengan danau nya. Indah sekali pemandangan di lokasi camp kami ini. Aku mengambil stock air yang berada disebelah barat camp kami agak turun kebawah disebuah rekahan air genangan yang berasal dari tetesan akar-akar pohon. Maman sudah menyalakan kompor saat aku kembali ke tenda, untuk memasak makan siang sedangkan tenda yang lain juga mulai sibuk dengan hal yang sama. Cukup panas siang ini, namun angin berhembus sejuk, dan jika matahari tertutup awan maka akan terasa dingin. Sempat juga terjadi hujan gerimis sebentar. Seusai makan siang praktis tidak ada kegiatan lain selain tidur, plan kami hari ini adalah istirahat besok pagi kami akan segera turun. Qim yang sudah turun dari puncak sedari tadi dengan Asep juga tampak mulai sibuk di beberapa tenda membantu memasak. Aku menyetel iPOD kesayanganku beberapa tembang mengalun, mencoba untuk tidur, diluar tenda beberapa teman dan para porter ngobrol bercanda.
tersadar didalam sepiku
setelah jauh melangkah
cahaya kasihmu menuntunku
kembali dalam dekap tanganmu
terima kasih cinta untuk segalanya
kau berikan lagi kesempatan itu
tak akan terulang lagi
semua kesalahanku yang pernah menyakitimu
tanpamu tiada berarti
tak mampu lagi berdiri
cahaya kasihmu menuntunku
kembali dalam dekapan tanganmu
Suara khas dari Afgan mendendangkan sebuah tembangnya mengalun dari ipod, aku memejamkan mata berusaha untuk tidur, pagi tadi sewaktu menajak kepuncak pinggangku agak sakit dan ngilu, aku rasa pasti karena jatuh kemaren dan jika digerakan akan terasa ngilu, untunglah tadi Ahtapon mengurutnya, rupanya dia selain ramai dan suka ngobrol juga pintar memijat. dengan menggunakan gel cedera ototnya dia beraksi memijat pinggangku dan hasilnya sekarang aku bisa cukup nyaman berbaring berusaha tidur, sementara lantunan suara Afgan terus mengalun.
terima kasih cinta untuk segalanya
kau berikan lagi kesempatan itu
tak akan terulang lagi
semua kesalahanku yang pernah menyakitimu
terima kasih cinta untuk segalanya
kau berikan lagi kesempatan itu
tak akan terulang lagi
semua kesalahanku
kesalahanku yang pernah menyakitimu
Ya terima kasih cinta untuk segalanya untuk kerinduan yang kau tebarkan, angin semilir menghembus ubun-ubun saya lewat pintu tenda yang sengaja dibiarkan terbuka. Qim sibuk memasak kali ini ditendaku, untuk makan malam nanti.
“maaf ya aku kan janji masakin kalian tapi baru sekarang nih” oceh Qim dengan gayanya yang khas pada aku dan Maman sambil terus memotong sayuran.
“aku mau masak sop” kemudian dia teriak memanggil salah seorang porter untuk meminjam panci mereka yang memang besar. Mau memasak untuk semua orang agaknya, dan setelah itu aku sudah terlelap kembali.
Aroma sop Qim membuat aku terbangun, tapi ada yang salah sepertinya aku masuk angin, Qim sudah siap dengan makanannya dan nasi juga sudah matang, hasil kerja Maman si jago liwet. Qim teriak memanggil Deri dan Asep di tenda mereka, makanan sudah siap santap. Aku kurang bernapsu makan, entah karena masuk angin barangkali, aku hanya menyantap sop dan sedikit nasi, kok kayaknya tidur masih kurang, ada keinginan untuk nanti bikin foto glowing tent tapi kok malam ini angin kembali kencang berembus ya, bisa jadi suhu akan kembali dingin dan jadi males keluar tenda. Untuk jalan-jalan disekitar areal tendapun aku malas aku dah kenal banget gunung ini, jadi lebih baik tidur gumamku sendiri hehehehehe….. Siang tadi sebelum tidur siang sempat ngobrol sama beberapa teman, malam ini ya tidur aja lagi biar besok pagi seger untuk turun.
Tidak seperti kemaren pagi ini langit Kerinci agak banyak awan, kami selesai sarapan mulai sibuk membongkar tenda masing-masing, hari ini kami akan turun menuju Kersik Tuo. Sekitar jam sembilan kami sudah muli beranjak turun meninggalkan shelter III yang menjadi lokasi hotel kami selama dua malam di Kerinci. Saat turun tidak jauh bedanya dengan naik, cukup sulit menuuruni gorong-gorong sempit dan berceruk dalam ini dengan gebolan ransel. Fisik teman-teman selama pendakian ini sangat bagus sekali, semua skenario pendakian bisa tercapai, bahkan untuk makan siang di Shelter I pun bisa dilakukan, saat kami sampai di shleter I bertemu dengan sekelompok pendaki dari explore Indonesia, dan rupanya merupakan teman dari teman kami juga, dan kami sempat ngobrol dan berkenalan, cukup lama berhenti di Shelter I dan sekitar jam dua siang rombongan pertama sampai dibatas hutan dengan selamat, pick-up kami sudah menunggu, setelah penuh segera kmi turun kembali ke penginapan Paiman. aku kembali bersama pick-up ke batas hutan untuk menunggu rombongan selanjutnya. Tidak lama menunggu, satu persatu mereka muncul. Amazing, aku senang sekali melihat kondisi fisik mereka semua dalam keadaan baik, meskipun beberapa orang mengalami masalah dengan dengkul tapi aku rasa itu ngga lebih dari faktor “U” hehehehehe.
“dah turun semua bang?” tanya mba endah saat sampai di dekat pickup
“sudah mba” semua dan di paiman, hanya kunci kamar barang titipan ada di Bang Hendrik” ujar saya tertawa lebar dan disambut ketawa beberapa teman.
Mobil pickup kembali melaju turun, sosok kerinci dibelakang sana tampak kokoh berdiri dan mega yang berarak kadang menutupi puncaknya, namun pada pendakian ini sungguh sangat biru langit Kerinciku, semoga akan terus biru dan jauh dari ilegal logging.