Seperti biasa, selepas adzan magrib berkumandang Pandu selalu merenung di batuan yang menjorok ke jurang dan duduk memandangi bulan sambil menggenggam secarik kertas. Dia rindu kekasihnya, rindu dengan candanya, rindu dengan perhatiannya. Pandu ingat setiap gerak-geriknya, senyuman dan tawanya, bahkan kerutan dikening dan bibirnya yang cemberut disaat tengah merajuk pun kental di ingatannya. Dalam diamnya terkadang senyum menghias wajah Pandu tapi tanpa terasa tak jarang air matanya menitik perlahan.
Pandu adalah seorang pemuda yang bersahaja dan pintar bergaul. Ada satu hal yang tidak bisa dipisahkan dari dirinya yaitu gunung. Kegilaannya pada mendaki gunung terkadang sering membuat teman-teman kantornya tidak habis pikir.
“Hei Pandu, ngapain sih naek gunung mulu, mending ikut gue deh santai di Bali,” ajak Agus teman sekantornya. Dia tahu Pandu sengaja mengambil cuti untuk mendaki gunung sedangkan dia dan beberapa teman kantor lainnya tengah merencanakan perjalanan liburan ke Bali.
“Ayolah Pandu, banyak cewek cakep pasti di Bali. Daripada di gunung, elo cuma nemu monyet dan pohon,” lanjut Agus kembali berusaha membujuk Pandu.
“Sorry man, may be next time.” Seperti biasa Pandu menjawab sambil tersenyum dan meneruskan kerjaannya.
“Ah payah, dasar kambing gunung” sungut Agus sambil berlalu.
Hampir semua teman-teman yang mengenal dekat dirinya menjuluki dia sebagai kambing gunung. Sebenarnya julukan itu diberikan pertama kali oleh teman-teman sesama pendaki gunung karena meskipun Pandu berperawakan biasa tapi kekuatan fisik dan kelincahannya dalam mendaki setiap puncak gunung sering membuat kagum teman-temannya. Dan tak jarang dia juga sering mendaki gunung seorang diri, sampai akhirnya hobinya ini membawa dia bertemu dengan seorang wanita yang menjadi kekasihnya.
Tiga tahun yang lalu…
Kala itu musim hujan dan seperti biasa Pandu sedang kumat hasratnya mendaki gunung sendirian. Meskipun dia pergi sendiri, akan tetapi dia selalu membekali diri dengan peralatan yang memadai. Disaat perjalanan turun setelah mencapai puncak disebuah pos pendakian dia bertemu dengan lima orang pendaki, dua wanita dan tiga laki-laki. Sepertinya mereka habis kehujanan dan mengigil kedinginan. Namun dari kelima pendaki tersebut ada seorang pendaki wanita yang lebih parah kondisinya. Dia duduk dipojok pondok dan mengigil sementara satu teman wanitanya berusaha menutupi tubuhnya dengan sehelai jaket yang lembab. Pandu memperhatikan mereka, tampaknya mereka mendaki dengan peralatan seadanya.
“Mas. kenapa temannya” tanya Pandu pada salah seorang dari mereka yang juga tengah berdiri memperhatikan temannya.
“Kedinginan Mas, kami kehujanan dijalan” jawab dia.
“Ngga bawa jas hujan atau ponco” tanya Pandu kembali.
“Ada mas tapi ternyata tembus juga”. Terang aja itu kan jaket bukan jas hujan, batin Pandu sambil mengamati mereka.
“Boleh saya periksa Mas?” Tanya Pandu sambil mendekati wanita tersebut
Dia terkejut tak kala melihat kondisi wanita itu. Wajahnya pucat pasi dan bibirnya tampak nyaris membiru, tak salah lagi wanita tersebut terkena Hypothermia. Sebuah kondisi dimana suhu tubuh turun dibawah suhu normalnya. Ini biasanya diakibatkan tubuh terlalu lama bersentuhan dengan suhu dingin.
“Mba, mba dengar saya ngga?” Tanya Pandu pada wanita itu sambil mengoyang-goyang lengan wanita itu. Namun tak ada reaksi, hanya suara gemeretuk giginya yang menggigil kedinginan, matanya pun dalam kondisi tertutup rapat. Dengan sigap Pandu segera membuka ranselnya dan mengeluarkan perlengkapan yang dibawanya.
“Mas, dia harus cepat di tolong. Nih tolong bentangkan ini disana, dan taruh matrass ini diatasnya” ujar Pandu pada salah seorang dari mereka sambil menyerahkan lembar flysheet dan matrass.
“Jangan terlalu lebar ya buka lipatan flysheetnya biar agak hangat” ujar dia lagi
“Ayo mba bantu saya membuka baju basahnya, pakaikan sarung ini untuk penutup” pinta Pandu pada wanita yang satunya, kemudian dia mengeluarkan pakaian kering dari ranselnya dan juga handuk kering.
“Lap dulu mba tubuhnya sampe kering dan pakaikan ini. Jangan sampe ada pakaian basah yang masih nempel di badannya,” ujar Pandu lagi sambil memberikan handuk kecil dan pakaian kering.
“Ya mas,” jawabnya.
Pandu membuka kembali ranselnya dan mengeluarkan sleeping bag kemudian dibentangkannya diatas flysheet yang sudah dialasi lagi dengan matrass tadi. Kemudian dia mengambil alat masak dan persediaan air mentahnya.
“Mas, bisa bantu saya masakin air, ini kompornya tinggal pencet disini ntar nyala. Ini air dan misting nya ya” ujar Pandu pada salah satu teman si wanita tadi.
“Iya” jawabnya lalu cepat melakukan apa yang dipinta Pandu.
Pandu kembali mendekati wanita tadi yang sudah diganti pakaiannya oleh temannya dan kemudian dia memakaikan jaket, kaos kaki kering, sarung tangan dan balaclava ke wanita itu.
“Ayo bantu saya memasukan dia kedalam sleeping bag itu” ajak Pandu pada temannya yang lain.
Tampak wanita ini agak membaik kondisinya. Kelopak matanya sudah sedikit terbuka, tidak tertutup rapat lagi seperti tadi akan tetapi wajahnya masih pucat pasi. Setelah memasukkan wanita itu didalam sleeping bag, Pandu kemudian menuangkan teh panas dari termos kecilnya yang dia isi sewaktu akan turun tadi. Di minumkannya perlahan pada wanita itu.
“Ini mba minumkan sedikit demi sedikit” pinta Pandu sembari mengansurkan gelas tutup termos yang baru seteguk diminum wanita itu pada temannya.
Kemudian dia menghampiri salah seorang teman laki-laki wanita itu dan mengenalkan diri.
“Saya Pandu”
“Anton mas, dia Angga dan itu Rully, Silvi dan yang sakit Yola” jawab laki-laki yang dijabat tangannya oleh Pandu sambil mengenalkan seluruh teman-temannya. Pandu tersenyum kepada mereka dan menganggukan kepala. Usia mereka masih dibawah Pandu.
“Kalian naik jam berapa tadi?” tanya Pandu
“Kita naik jam dua dini hari tadi Mas, lalu kehujanan dijalan. Rencananya mau menginap di pos terakhir sebelum puncak” jawab Anton.
“Tapi kayaknya kita mau turun aja deh” lanjutnya.
“Ya sebaiknya turun saja, tapi kita tunggu sampai kondisi dia membaik” jawab Pandu kembali memperhatikan Yola.
“Jaket yang dia pakai tadi itu bukan jaket yang water proof hanya jaket parasut biasa. Pantas saja dia basah kuyup begitu” ujar Pandu lagi sambil memandang pada Anton
“Iya mas, dia baru pertama kali naik gunung” Jawab Anton
Ah, pantas saja. Tapi teman-temannya tega juga ya membiarkan dia memakai jaket itu, Pandu membatin. Selama dia mendaki banyak sudah dia menyaksikan pendaki-pendaki asal jadi seperti ini dan tidak jarang juga Pandu ikut tim SAR mencari pendaki yang hilang atau celaka hanya karena ketidak siapan seperti ini.
Kemudian dia mengambil coklat dari ranselnya dan menawarkan pada teman-teman barunya ini.
“Makasih Mas saya ngga gitu suka” jawab Angga. Hanya dia yang menapik sedangkan yang lainnya menerima pemberian Pandu. Lalu mereka terlibat percakapan sambil menikmati seduhan wedang jahe dari air yang dimasak oleh Angga tadi. Hari semakin siang, dan kabut mulai tersibak.
“Hhmmm” tiba-tiba Yola mengeluarkan suara dan bergerak mengangkat kepalanya, Pandu mendekatinya diikuti oleh yang lain.
“Gimana perasaan kamu? Masih dingin atau gimana?” tanya Pandu sambil tersenyum kearah Yola. Kemudian da mengansurkan gelas berisi wedang jahe hangat ditangannya pada Yola.
“Minum lagi, ini wedang jahe enak buat ngangetin kamu” Yola menerima dengan memajukan kepalanya sambil memegang tangan Pandu dan pelan-pelan meminumnya, ada desiran aneh didada Pandu tapi kemudian cepat-cepat dia mengenyahkan rasa itu.
“Makasih ya” ujarnya lirih.
Sambil menikmati indomie hasil masakan Rully mereka kembali terlibat percakapan, bahkan Yola juga sudah terlihat ikut dalam obrolan tersebut. Agaknya dia sudah pulih.
“Mas ini baju kamu ya?” tanya Yola ke Pandu.
Pandu membalasnya dengan senyum
“Iih malu deh, ngerepotin orang. Yola..Yola..” ujar Yola pada dirinya sendiri.
“Ngga apa kamu pake aja, apa kamu mau pake bajumu yang basah itu lagi?” tanya Pandu dan Yola menjawabnya dengan senyum manis.
Sebelum hari semakin siang akhirnya mereka mulai bergerak turun kebawah.Yola dan teman-temannya membatalkan keinginan mereka untuk meneruskan perjalanan.
Setelah kejadian itu hubungan Pandu dan Yola pun terus berlanjut. Mereka sering mendaki gunung berdua, dan Pandu pun mulai menularkan ilmunya kepada Yola tentang tehnik-tehnik mendaki gunung yang benar dan aman hingga akhirnya Yola benar-benar menjadi seorang pendaki seperti Pandu. Tak jarang dia ikut operasi SAR dengan Pandu, bahkan nyali Yola tak kalah dengan Pandu. Dia pernah mendaki gunung Semeru sendirian.
Ada satu ritual yang mereka lakukan berdua saat berada di puncak gunung, yaitu bercakap-cakap sambil memandangi rembulan di sebuah batu yang menjorok agak kejurang. Karenanya, disetiap purnama tiba mereka selalu menyempatkan diri untuk melakukan itu. Tanpa terasa hubungan mereka telah berjalan hingga bertahun lamanya.
*********************
Besok bulan purnama, seorang wanita terlihat sendu menatap bayang-bayang malam dari jendela kereta yang melaju cepat ditengah kesunyian. Dia tak lain adalah Yola yang sedang rindu akan kekasihnya, Pandu. Dia masih ingat setiap gerak geriknya, senyuman dan tawanya dan setiap guratan di wajahnya. Kadang dia bisa merasakan kehadiran kekasihnya menemaninya menikmati bulan. Air matanya kembali menggenang, siap untuk bergulir untuk kesekian kalinya.
“Tunggu aku ditempat biasa ya…” gumamnya lirih sambil menarik nafas panjang dan kembali memejamkan matanya.
Dengan lincah Yola mendaki gunung sendirian tanpa ditemani siapapun. Dia berjanji bertemu Pandu ditempat biasa mereka menghabiskan malam purnama dipuncak gunung itu. Sebelum magrib tiba Yola sudah sampai dilokasi tersebut, dengan sigap dia memasang tenda, memasak dan berbenah. Kemudian perlahan rona senja menghiasi langit yang cerah di sore itu.
Beberapa saat setelah adzan magrib berkumandang dia menghampiri batuan yang menjorok agak ke jurang tempat dimana biasanya dia dan Pandu duduk menikmati rembulan. Beberapa saat kemudian dia merasakan seseorang menghampirinya dan diapun tersenyum.
“Kamu sudah datang ya?”ucapnya perlahan.
“Aku kangen sama kamu” lanjutnya setengah bergumam.
Berdua mereka tenggelam sambil memandangi bulan tanpa berbicara, sibuk dengan pikiran mereka dalam tautan kerinduan. Sesekali mereka tertawa bersama dan kemudian kembali terdiam. Tanpa terasa purnama sudah mulai turun ke ufuk timur dan sebentar lagi fajar akan menyingsing. Dengan malas Yola merapikan sleeping bag yang dia pakai untuk menutupi tubuhnya saat duduk tadi. Sesaat dia berdiri mematung menatap batuan itu, disana dipinggir jurang itu sebuah inmemoriam granit bertuliskan
nama PANDU SETIAWAN terukir, dan serta merta kecelakaan itu pun kembali menguasai pikirannya, terbayang jelas kembali di ingatannya.
Seperti biasa mereka mendaki gunung ini berdua. Mereka akan menghabiskan malam dengan menikmati malam purnama ditempat biasa mereka kunjungi. Namun kali ini Yola punya sesuatu, sebuah tulisan ungkapan hatinya yang dia tuliskan pada secarik kertas:
Kasih, dalam diamku
Kulukis namamu di langit biru
Namun sayang hilang terhalang mega
Dan terpupus angin yang lalu
Kasih, dalam bisuku
Di putih pasir pantai kutulis namamu
Namun hilang oleh buih ombak yang menyapu
Dan pupus tergerus waktu
Lalu, kulukis wajah dan kutulis namamu
Jauh dihati dan dekat direlung sanubariku
Erat terjaga oleh detak cintaku
Marak semerbak oleh rinduku
Dan itu tersemai terus hanya untukmu
Sesampai di lokasi mereka segera mendirikan tenda dan bersiap-siap menyambut malam. Yola belum berniat menyerahkan secarik kertas itu sekarang, nanti saja pas sudah santai. Dia menghampiri batu itu, tangannya menggenggam kertas yang sejak naik tadi dia kantungi lalu duduk dan membacanya lagi. Namun tiba-tiba saja Pandu sudah berdiri didekatnya sambil tersenyum.
“Kertas apa itu ?” Tanya Pandu
“Ah ngga apa-apa” jawab Yola kaget dan melipatnya.
“Lihat dong…”Pandu penasaran.
“Apan sih…” sungut Yola. sambil menyesal. Dalam hati membatin- kok dia keburu lihat sih.
Tiba-tiba Pandu merebut kertas tersebut dan berhasil, kertas itu ada ditangannya. Sambil tertawa-tawa dia memegang kertas itu, tapi dia lupa tengah berdiri dipinggir jurang dan tiba-tiba saja batu injakanya runtuh dan tak ayal tubuh Pandu langsung meluncur deras lalu terhempas ke dasar jurang dengan tangan masih memegang secarik kertas itu.
“PANDU…..!!!!!!”
Untuk beberapa saat Yola merasakan dadanya begitu sesak. Setelah menenang diri, kembali dia merapikan peralatannya sambil sesekali menyusut air mata yang tak juga mau berhenti. Sebelum meninggalkan lokasi, sambil mengusap imomeriam Pandu dia berbisik lirih “Sampai bertemu lagi di bulan purnama depan ya…”
Disana…tak jauh dari tempat Yola berdiri, Pandu menatapnya sambil tersenyum manis seperti biasanya.
“Rinduku selalu untukmu” begitu ucapnya.