“Windy….. hari ini tamunya dikit, kamu ngga usah turun ya….!!!” Teriak pak Hasan yang merupakan field manager perusahaan rafting operator dimana Windy bekerja sebagai river guide. “Biar yang cowok-cowok aja yang turun” lanjut pak Hasan, “baik pak,” jawab Windy dengan sembari mengacungkan jempol kanannya pada pak Hasan yang tengah berdiri di pinggir sungai dekat beberapa perahu karet tertambat. Windy kembali memainkan tangannya pada aliran air sungai Citarik yang mengalir dari batu tempat dia tengah duduk dari seperapat jam yang lalu. Dia begitu mencitai sungai ini dan begitu membencinya juga, Cintanya pada sungai ini yang telah membulatkan tekatnya untuk menekuni profesi river guide dan telah dua tahun dilakukannya. Rasa benci yang akhirnya membuat dia menyukai sungai ini, rasa cinta yang timbul karena seringnya dia merenung diam di sungai ini serta rasa ingin mengalahkan setiap jeramnya. Windy menghela nafas yang tiba-tiba merasa sesak didadanya, dan kembali ingatannya melayang pada kejadian tiga tahun yang lalu.
“Hai, ransel kamu ngga bener tuh makenya, kalo dipakai seperti itu ransel kamu pasti akan menyiksa pinggang dan pundak kamu,” tiba-tiba saja sebuah suara menganggetkannya, saat itu Windy tengah berjuang terseok-seok memanggul ransel 40 liter menapaki jalan setapak rute pendakian Taman Nasional Gede Pangrango di Jawa Barat. Windy dan 4 orang temannya yaitu Luna, Arri dan Lucy melakukan ide mereka naik gunung cewek saja tanpa cowok. Karena menurut Lucy selama ini mereka selalu tergantung sama cowok dan sesekali boleh dong membuktikan kemampuan sisterhood mereka tanpa bantuan cowok, bagi mereka bertiga yang sering naik turun gunung pasti ngga masalah paling bedanya ngga bisa melakukan azaz manfaat dengan menggunakan charming mereka untuk berbagi berat dengan anak cowok. Tapi bagi Windy ini adalah pendakian pertama dia, dan dia ikutpun karena hasil bujukan dari teman se-gang nya ini, dengan dalih memupuk sisterhood akhirnya rayuan tiga konco lengketnya berhasil membuat dia berada di jalan setapak gunung gede dengan beban ransel 40 liter di pundaknya.
“coba sini saya bantu mengeset ulang ransel kamu” lanjut si cowok tadi yang masih ditatap oleh Windy disela nafas nya yang tersengal-sengal. Nih cowok datang dari mana, batin Windy. Dia menoleh kedepan tampak Luna berjarak hanya 100 meter diatas dia dengan ransel merah gede kesayangannya.
“kamu siapa? Mhm haa..mhmm ha..Kok tiba-tiba ada sini..mhmm ha..mhmm ha…? Kamu bukan hantu kan?” tanya Windy disela nafasnya yang tersengal-sengal karena tanjakan yang dilewatinya cukup tajam, memang rute gunung putri terkenal dengan tanjakannya, dari awal pendakian tadi dia mengomel panjang lebar sama ketiga sobatnya yang tega mengajak dia lewat jalur ini.
Cowok yang didepannya tersenyum, senyum pesodent, begitu julukan yang diberikan Windy setiap melihat senyum yang menampakan gigi putih rapi layaknya iklan pasta gigi itu.
“bukan-bukan, tadi aku jalan di belakang kamu kok cukup jauh jarak kita, terus di belokan dekat kali tadi aku sempat lihat kalian dari jauh, karena kalian jalannya ngga begitu cepat akhirnya kesusul sama aku,” jawab cowok itu sembari melepaskan ranselnya yang lumayan gede.
“kamu sendirian?” tanya Windy lagi dia melihat keatas tampak temannya tengah berhenti menunggu dia.
“ngga kok aku bertiga sama temanku yang dua lagi istirahat di kali kecil tadi aku jalan terus aja karena belum begitu capek,” katanya sambil senyum pepsodent, “coba lepasin ransel kamu deh aku setting ulang” pinta dia, Windy melepaskan ranselnya. Si cowok itu lalu memperbaiki sabuk bahu ransel Windy mengencangkan tali-talinya,
“mhmm kendor nih settingannya, ransel kamu bagus nih bisa di setel back systemnya, kalo nyetelnya bener akan lebih enak dibawa” si cowok itu nyerocos dengan istilah yang tidak dimengerti Windy, karena dia sibuk memperhatikan wajah cowok yang tengah jongkok didepan ranselnya, wajah nya bersih rambutnya cukup lebat tapi terpotong rapi dan sebuah bandana berwarna merah terikat dikepalanya ala penyanyi Axel Rose dia mengenakan baju kaos warna hitam, dengan celana lapangan katun warna coklat.
Cakep juga selintas kata itu mencuat begitu saja di benak Windy, perawakan cowok ini tidak terlalu besar tapi ransel yang dibawanya melebihi tinggi kepalanya saat disandangnya. Bayangan cowok ini jauh banget dari gambaran pendaki gunung yang biasanya item, gondrong, dan penuh dengan aksesory entah gelang atau kalung.
“tuh dah kelar coba deh kamu pakai,” tiba-tiba suara si cowok itu membuyarkan ketermaguannya.
“eh ii..ya..” jawab Windy sedikit terbata. “nah gimana? Rada enakan kan?” tanya cowok itu begitu ransel sudah menempel di punggung windy, “mhmm iya, enak pas dan stabil” jawab Windy, “tadi itu tali pundak ransel kamu itu buat ukuran tubuh orang yang lebih tinggi dari kamu, jadi aku sesuaikan dengan tubuh kamu. Kalo pake ransel, dasar ransel itu posisinya diatas pantat, sabuk pinggang persis ditulang panggul, jadi kita ngga sakit makenya,” cowok itu nyerocos begitu aja menjelaskan apa yang telah dia kerjakan dan ini sangat menarik perhatian Windy. “oiii windy lama amat sih brentinya cepetan, jangan ngobrol sama orang yang ngga dikenal..!!!!” teriak si tomboy Lucy dari atas tanjakan tempat mereka berhenti.
“aku Bimo, nama kamu sapa?” ujar Bimo sambil mengurlurkan tangannya, “Windy” jawab Windy sambil membalas jabatan tangan Bimo yang terasa begitu kukuh. “Namanya bagus, Windy dari kata angin ya?” Windy hanya tersenyum dan kemudian beranjak hendak mulai menyusul teman-temannya, Bimo dengan tergesa-gesa memakai ranselnya dan berjalan mengikuti Windy dari belakang.
“Kok ngga nunggu teman kamu?” tanya Windy, “ntar aja di shelter itu” jawab dia sambil menunjuk ketempat dimana ke tiga teman-teman Windy tengah beristirahat.
“Ei.. cowok elo godain temen gue ya…!!” Lucy dengan galaknya menegor Bimo begitu mereka sampe, “ih Lucy dia bantuin benerin ransel gue tadi” tanpa disadari Windy kalimat pembelaan itu menluncur begitu saja dari bibir mungilnya. “wah dibelain ya, ya dah elo selamat kali ini ya” kata Lucy lagi masih tetap galak. “ampuuunnnn…” jawab Bimo sambil menunjukan mimik lucu dan ini kontak membuat pecah tawa teman-teman Windy termasuk juga Windy. Suasana hening hutan gunung gede pagi itu pecah oleh tawa mereka berlima. Bimo kemudian memperkenalkan dirinya pada teman-teman Windy. Dan merekapun larut dalam obrolan yang khas anak-anak pendaki gunung, sesekali Windy terus mengamati Bimo yang menurutnya sangat dewasa cara berbicara dan bersikapnya tapi ngga ngebosenin karena rada kocak juga.
Windy dan teman-temannya melanjutkan perjalanan, sementara Bimo masih menunggu kedua temannya di Shelter tersebut. “kita jalan pelan kok pasti keuber ntar sama kalian” kata Luna pada Bimo saat mereka mulai berjalan, Windy hanya tersenyum dan dibalas oleh Bimo.
Hari masih terbilang pagi, selama menunggu temannya ada beberapa kelompok pendaki yang melewati Bimo. Jalur pendakian dari Gunung Putri ini, terbilang lebih cepat dari pada jalur pendakian dari Cibodas jika hendak mencapai Gunung Gede, tapi kemiringan tanjakannya cukup curam dan membuat nafas para pendaki seperti berburu dengan langkah mereka. Tidak berapa lama kemudian kedua teman Bimo yaitu Teguh dan Lingga sudah datang dan tanpa beristirahat lagi mereka terus mendaki, mereka ingin segera sampai di alun-alun surya kencana yang merupaan lokasi tempat mereka akan menginap malam ini. Angin lembut berhembus menerpa wajah Bimo, “mhhmm sejuk nya angin ini sesejuk wajah Windy” gumam Bimo halus…..”eh lo ngomong apaan Bim?” tanya Lingga karena sepintas mendengar gumaman itu, “ah ngga, anginnya sejuk” jawab Bimo sambil terus melangkah, “Bim, jangan terlalu buru-buru ah, gue kurang tidur nih semalam, pelan dikit, santai aja. Kapan perlu kita istirahat dulu yok laper nih,” Teguh berucap sambil menurunkan ranselnya tanpa menunggu persetujuan kedua temannya terlebih dahulu. “ ah elo brenti mulu sih…” sungut Lingga, “ya udah kita brenti” lerai Bimo, dan akhirnya mereka pun santai lagi menikmati snack dan minuman buah segar yang ada dalam bekal mereka.
Mendekati pos bernama Buntut Lutung, kelompok Bimo menyusul kelompok Windy yang tengah santai istirahat, “tuh kan pasti kesusul, kalian jalannya cepet banget,” ujar Luna, Bimo berhenti sementara kedua temannya terus berjalan, “dah lama berhenti?” tanya Bimo. “ya,…iiiyalah…., masak iya dong…” sahut Lucy yang dengan nada bercanda dan jawaban ini membuat teman-teman Lucy lainnya termasuk Windy tersenyum.
“Bimo ayo…. Lanjut…!!” teriak Teguh dari atas tanjakan, “Ok, aku duluan ya, sampe ketemu di surya kencana” pamit Bimo kepada rombongan Windy dan melirik ke Windy yang tersenyum manis pada dirinya.
“Sapa Bim?” tanya lingga, saat Bimo menyusul mereka, tadi gue kenal dijalan, “gile gerak cepat juga lu.., kayak Kopasus..aja gerak cepat..” gurau Teguh sembari memukul bahu sahabatnya itu. “ya …iyalah.., masak iya dong” jawab Bimo menirukan jawaban gurauan Lucy tadi, dan tawa mereka pecah karena itu.
Surya kencana sore itu cerah sekali masih sekitar jam tiga sore, rombongan Windy bergerak melintasi padang rumput yang banyak ditumbuhi bunga Edelweiis, bunga abadi yang sering disimbolkan sebagai perlambang cinta abadi yang kebetulan memang lagi tengah musimnya. Begitu memasuki kawasan alun-alun ini semerbak wangi edelweiss seakan menyeruak memenuhi indera penciuaman mereka. “duuhhh wanginya…, duhhh indahnya..” Windy yang baru pertama kali merasakan sensasi keindahan alam bebas ini tidak henti-hentinya berucap kagum, “ya iyalah gue ngga bakal ngajak elo ke gunung yang jelek” kata Lucy sembari memeluk bahu sahabatnya ini, “makasih ya kakak….” Jawab Windy dengan nada menggoda. Mendekati daerah alun-alun barat, seseorang pakai jaket biru mendekati mereka, rupanya Bimo datang menyambut mereka ditangannya tampak terjijing satu teko serta gelas plastik, “selamat datang, kalian pasti haus, ini aku bawain teh manis anget, ayo…” ujar Bimo sembari menyodorkan gelas-gelas plastik tersebut pada mereka dan mengisinya dengan teh manis hangat. “aduhhhh.., kamu baik sekali..” kata Arri sambil melirik ke arah Windy. Karena sepanjang jalan pendakian tadi Windy habis digodain oleh teman-temannya karena Windy yang tadinya ngga bersemangat mendaki jadi sangat ingin untuk segera sampai di Surya kencana ini dan penyebabnya agaknya si cowok yang tengah berdiri didepan mereka ini.
“mau lagi?” tanya Bimo pada Windy, saat isi gelas Windy sudah kosong. “ngga makasih” jawab Windy. “Gimana capek ya? Hebat padahal kamu baru pertama kali ya kesini tapi bisa sampe sini jam segini.” Puji Bimo dengan nada yang sunguh-sungguh.
“terang aja ada dopingnya dia” jawab Lucy dengan jahil. Windy hanya tersenyum manis, dan sangat manissss sekali senyum itu dilihat Bimo.
Begitulah semenjak itu hubungan Bimo dan Windy terus belanjut hingga menjadi sepasang kekasih yang sangat saling mencinta, Windypun semakin menyukai kegiatan alam bebas, sering mereka melakukan pendakian bersama, entah berdua saja atau beramai-ramai dengan teman-teman mereka. Bimo yang ternyata romantis dan pintar menulis puisi ini selalu berusaha menyenangkan hati kekasihnya Windy, kepintaran Bimo dalam memasak di gunung juga menjadikan Windy semakin menyukai mendaki gunung dengan kekasihnya ini. Biasanya kalau dia dan teman-temannya camping pasti ngga lain menunya Indomie melulu, tapi dengan Bimo, dia bisa makan sayur asem, goreng tempe balado, dan menu rumahan lainnya. Dan bukan itu saja Bimo sangat ngemong dia, mungkin karena usia mereka cukup terpaut jauh dan ini membuat kedewasaan Bimo merupakan tempat bermanja-manja yang cocok sekali dengan Windy. Semantara bagi Bimo, Windy adalah sosok wanita yang sangat dia puja kelembutan pribadinya tapi keras hati dan tidak menyerah.
Suatu hari setelah setahun hubungan mereka, tepatnya seminggu sebelum valentine, Bimo menelpon Windy mengajaknya untuk ikut rafting dengan teman-teman kantornya. “kan musim hujan Bim” jawab Windy ragu, “tenang aja, debit airnya bagus kok, aku dah cek sama operatornya” hibur suara Bimo diseberang telpon. Dan akhirnya merekapun begabung dengan teman-teman kantor Bimo berarung jeram di sungai Citarik. Perjalanan yang sangat menyengkan itu rupanya harus menghadapi cerita yang pahit.
Pada awal mereka memulai pengarungan, debit air sangat normal dan setelah satu jam pengarungan bencana itu datang, tiba-tiba saja skipper mereka sepertinya pada berusaha untuk menepi, semua ada 8 perahu, tapi yang baru menepi 6 perahu. Perahu yang satu berhasil ditarik oleh tim rescue dengan tali lempar, arus yang tiba-tiba sangat deras menujukan debit air yang naik rupanya tengah terjadi hujan di hulu. Perahu yang ditumpangi oleh windy dan Bimo tidak sempat lagi mendapat tali lempar dan akhirnya harus melewati dua jeram yang tidak bisa dihindarkan lagi, sementara bunyi jeram yang besar itu bergemuruh siap menunggu mereka, dan benar saja saat memasuki jeram perahu tersebut terbalik seluruh penumpangnya tercebut kedalam jeram. Bimo yang sudah menduga hal ini berusaha untuk tidak melepaskan Windy hingga mereka berdua tercebur ke sungai, tali lempar dari tim rescue menyelamatkan mereka, dengan susah payah mereka melawan arus berenang ke pinggir, hanya satu orang yang belum terangkat karena dia terjebak di terjebak di batu dan berpenggangan disana, melihat ini Bimo bermaksud akan kembali menolong temannya itu, “jangan Bim.. please bahaya….” “tenang aja yang, aku kan pegang tali pengaman nih” ujar Bimo sambil menunjukan tali lempar tim rescue, dan kemudian diapun bergegas menceburkan diri ke sungai menolong temannya, dengan sigap dia melilitkan tali tersebut ke badan temannya, namun malang tak dapat di tolak untung tak dapat diraih sebuah lidah air yang cukup kuat merenggut dan menengelamkan mereka berdua, Windy mengigit bibir melihat kejadian itu, ujung lain dari tali lempar yang terhubung pada mereka berdua masih dipenggang erat oleh tim rescue dan tampak mengencang, tapi ternayta sosok yang muncul di ujung tali tersebut hanya satu orang, yaitu teman Bimo yang diselamatkan oleh Bimo. Bimo tidak ada. “Bimo…!!!!.., Bimo mana…? Mas… Bimo mana mas..” teriak Windy pada tim rescue yang menarik tali lempar tersebut. Sementara tim rescue yang lainnya berusaha mencari kebeberapa bagian sungai, nihil, tidak ada Bimo menghilang begitu saja ditelan oleh arus sungai citarik yang tengah menggila.
Sudah dua hari tim SAR melakukan penyisiran di lokasi hilangnya Bimo, tapi jenazah Bimo belum juga ditemukan, Windy yang tidak pernah menyerah selalu berada dilokasi menunggu jenazah kekasihnya untuk ditemukan, menginjak hari ketiga tanggal 14 February debit air sudah mulai normal kembali dan sekitar jam 3 sore jenazah Bimo ditemukan berjarak 50 meter dari tempat kejadian, menurut dugaan tim SAR jenazah Bimo yang masih mengenakan pelampung itu kemungkinan tersangkut dalam sebuah hole yang ada di dinding sungai dan karena arus yang kencang sewaktu debit air tinggi membuat jenazah tertahan didalam hole tersebut akibat tekanan dari arus air yang kencang.
Widy tidak bisa menahan kesedihan nya saat menyaksikan jenazah Bimo, tangisnya pun pecah seketika namun dia kemudian teringat betapa Bimo ingin dia selalu kuat menghadapi apapun dalam hidupnya, “Windy sepahit apapun hidup, kita harus kuat meskipun cobaan datang beruntun. Percaya aja Tuhan tidak akan memberikan cobaan melebihi kemampuan umatnya, jadi selalu tabah ya..” tergiang ucapan Bimo yang selalu dia ucapkan manakala Windy terlihat berputus asa menghadapi rintangan dalam hidupnya.
Tidak ada lagi Bimo yang dewasa, yang lucu yang baik yang pinter masak dan selalu siap menawarkan teh manis kesukaan Windy saat mereka nenda di gunung. Citarik telah merenggut kekasihnya tepat didepan matanya. Kejadian itu membuat Windy terobsesi dengan sungai ini, tepat dua bulan setelah kejadian itu Windy mendaftar untuk lowongan sebagai River Guide disalah satu operator Rafting di sungai Citarik dan setelah lulus seleksi akhirnya diapun didik menjadi seorang river guide wanita yang pertama di wilayah itu. Hari demi hari dia jalanin dengan mengarungi jeram demi jeram di sungai itu, kadang seperti terobsesi untuk mengalahkan sungai pembunuh kekasihnya itu, pada awalnya kebencian pada sungai ini membuat dia ingin terus menaklukan sungai ini pernah juga dia nekat mengarungi sungai dengan memakai perahu karet canoe saat debit air sedang tinggi, dan dia seperti menantang jeram yang membalikan perahunya dulu, tapi semua itu bisa dia lewati, dan akhirnya kebencian pada sungai ini berubah menjadi rasa suka dan cinta. Begitulah waktu terus berjalan dihari-hari senggangnya sering di merenung di sungai ini mengenang kekasihnya Bimo.
Hari ini sudah dua tahun Bimo tiada, hari ini hari valentine, hari yang sama saat ditemukannya jenazah Bimo, hanya bedanya tahun ini debit air jarang sekali bagus meskipun hujan di hulu tapi debit air tinggi tidak bertahan lama mungkin karena hutan-hutan di hulu sungai sudah banyak yang gundul, akibatnya air lepas begitu saja.
Windy mengeluarkan secarik kertas dari tas kecilnya, kertas ini adalah puisi yang ditulis Bimo untuknya dulu
Windy,
Rindu itu kadang datang bagaikan sembilu
Mengiris dada mendatangkan ngilu
Tapi darah yang keluar semakin menghangatkan cintaku
Windy,
Rindu itu kadang datang bagaikan bayu
Membuai lembut merasuk kalbu
Membuat ku tak mau jauh darimu
Windy,
Aku rindu kamu….
Kekasihmu, Bimo
Puisi itu ditulis Bimo saat dia tengah mendaki gunung Leuser bersama temannya dan sebelum masuk hutan Bimo menyempatkan diri mengirim puisi itu lewat kantor pos bukannya lewat email karena menurutnya tulisan tangan dia akan lebih bisa menyampaikan rasa rindunya. Mata Windy terasa menghangat, ah Bimo… aku juga rindu sekali, batin Windy hatiku sepi Bimo sesepi riak Citarik hari ini.
“Windyyy…………ada tamu.. nyariin elo.. “ teriak Susi petugas frontdesk dari seberang sungai. Teriakan itu membangunkan Windy dari lamunannya. “Ya.!!” Sahut Windy sambil memasukan kembali secarik kertas itu dan menyeka matanya yang merebak basah. Bergegas dia meloncati batu kecil menuju tepian sungai dan menuju front desk, rupanya disana ada Luna, Anggi dan Lucy. “hey angin apa yang membawa kalian kesini,” ujar Windy setengah berteriak dan segera menghambur memeluk ketiga sahabatnya itu. “ya angin kangen lah sama elo masak angin badai” jawab Lucy masih dengan gaya khasnya, “Windy met valentine ya, kita ngga mau elo sedih dihari ini makanya kita datang” Anggi tersenyum saat mengucapkan kata-kata itu. “makasih ya” jawab Windy dan kembali matanya basah oleh genangan air mata. Terima kasih Tuhan kau telah memberikan sahabat-sahabat yang baik pada diriku.
Sementara riak Citarik terus mengalir bagai hidup yang terus bergulir. “Bimo selamat hari valentine ya” gumam Windy pelan sembari mengikuti ketiga sahabatnya menuju pinggiran sungai Citarik untuk duduk mengobrol bersama.
(cerita ini hanyalah fiksi belaka jika ada kesamaan nama dan tempat atau cerita dengan kejadian nyata itu hanyalah kebetulan saja)