“udah di tol TB Simatupang, bentar lagi nyampe. Aku naik taxi jadinya”, demikian sms yang saya terima dari Joan. Selain Joan, Anno dan Rita juga belum muncul. Teman-teman peserta ultralight hiking ke Gunung Pangrango lainnya sudah stand by di Terminal Kampung Rambutan. Kali ini memang perjalanan yang kami rencanakan adalah ke Gunung Pangrango yang berada dikawasan TNGP, dan karena adanya aturan baru yang hanya membolehkan pengunjung untuk menginap didalam lokasi TNGP hanya semalam dan tidak boleh lebih ini akhirnya membuat saya menerapkan prinsip ultralight hiking dalam perjalanan bersama kali ini. Ada banyak sekali pemahaman tetang prinsip Ultralight hiking ini, namun yang jelas adalah suatu prinsip yang mengutamakan bobot yang enteng dan multifungsi serta juga inovatif pada peralatan yang digunakan selama perjalanan pendakian. Minimalis disini bukan berarti mengabaikan keselamatan akan tetapi tetap jenis peralatan yang dibawa sama saja dengan peralatan pendakian gunung lainnya hanya saja lebih ringan, kompak dan multifungsi.
Tak lama kemudian Joan muncul dengan ranselnya, mhmmm sedikit gede ya…. Dan kemudian terakhir nongol Anno dan istrinya Rita. Lengkap sudah kami semua, dari Jakarta ada saya, Maman, Budi, Andi, Asep, Rico, Hermon, Ricky, Reza, Nancy, Joan, Anno, Rita dan the pair always yaitu Ella dan Irfan. Dari bandung the pair always juga yaitu Dipa dan Dian, dari Bogor sedianya Danis dan Ike tapi Ike mendadak batal karena ikut dengan teman-temannya, tujuan nya masih sama yaitu Gunung Pangrango, yang istimewa adalah Heru owner dan moderator milis highcamp ikut mengantar kami hingga ke Cibodas. Perlahan bus Ekonomi tujuan Garut via puncak bergerak meninggalkan terminal jarum jam sudah menunjukan pukul 9 lewat, namun supir bus ini rupanya senang sekali ngetem disetiap perapatan pasti behenti dan akhirnya setelah ngetem cukup lama barulah bus melaju dengan kecepatan normal membelah udara dingin malam kawasan puncak. Saya mencoba meneruskan tidur yang tadi terganggung saat bus ngetem di Ciawi, tapi tak kunjung berhasil, hingga akhirnya bus mendekati kawasan Cimacan tepatnya pertigaan Cibodas dimana kami harus turun., dan kemudian dilanjutkan dengan angkot hingga ke warung mang Idi yang akan menjadi tempat peraduan kami malam ini hingga esok hari.
Sekitar jam 5 pagi kami semua sudah mulai siap-siap, di luar warung tampak Ori dan Leo masih asyik ngobrol. Semalam Ori (owner dan moderator milis HC) datang menyusul ke Cibodas bersama 2 orang temannya dan Leo yang datang bersama Suwasti juga akan mendaki ke Pangrango. Leo dan Suwasti bersama dua orang temannya yang lain akan mendaki Pangrango tapi bukan ala UH seperti kami. Sekitar jam 6.30 kami mulai bergerak menuju pos TNGP dan setelah lapor kami memulai perjalanan ini dilepas oleh dua orang owner dan moderator milis HC yaitu Ori dan Heru.
Pagi ini udara tidak begitu cerah, kabut menggantung di puncak Pangrango, perjalanan terasa begitu enteng bagi saya, ya mungkin karena beban dipunggung yang Cuma 11 kg membuat langkah jadi enak dan juga saya bisa lebih enjoy dengan suasana hutan TNGP pagi itu. Semakin siang rombongan mulai terpecah menurut kelompok sesuai dengan kecepatan masing-masing. Manurut rencana tadi sewaktu briefing sebelum berangkat kami akan makan siang di Kandang Badak. Sementara cuaca semakin gelap oleh kabut dan benar saja sewaktu mendekati daerah kandang Badak hujan turun membasahi kami, untunglah kami membawa payung karena sebelum berangakt kami mendapat informasi bahwa di kawasan TNGP hingga saat ini masih sering turun hujan.
Sekitar jam 12 siang satu persatu dari kami mulai bermunculan di Shelter Kandang Badak, hujan semakin deras. Kami membuka nasi bungkus bekal makan siang kami yang sudah kami siapkan semenjak dari warung Mang Idi tadi pagi, dan buat saya sebagai menu tambahan lalapan daun Pokpohan yang banyak terdapat di TNGP ini menjadi teman lauk lainnya berserta nikmatnya sambal bajak. Perut yang sudah keroncongan segera terisi nasi dan selesai makan penyakit kantuk mulai menyerang dan di perparah oleh hujan yang membuat suhu menjadi dingin semakin membuat mata ini menjadi berat dan ingin tidur. Tapi tidak bisa, karena shelter Kandang badak ini sangat kotor dan becek, jauh dari kata nyaman tidak seperti shelter kandang badak ditahun 80an dulu sangat bagus berupa pondok ala rumah panggung yang terbuat dari kayu, nyaman dan hangat.
Jam 1 siang hujan sudah mulai agak reda dan kamipun kembali melanjutkan perjalanan, tapi kondisi jalan trek menuju puncak pangrango sungguh diluar dugaan, banyak sekali pohon tumbang yang menghalangi jalan sementara hujan yang kembali turun cukup membuat kami kewalahan melewati rintangan alam berupa pohon tumbang dan semak belukar yang menutupi jalan setapak. Belum lagi jalur yang tadinya melingkar-lingkar untuk meminimalisir tanjakan terjal sekarang sudah tertutup dansebagai gantinya jalur potong kompas direct yang terjal bertanah serta licin dan dipenuhi oleh akar pohon dan tak jarang bahkan batang pohon yang malang melintang, membuat beberapa teman yang tidak mengunakan prinsip UH (baca: pake ransel besar) sepertinya harus terbungkuk-bungkuk di areal itu. “emang lewat sini nih bang jalurnya.??” Teriak Irvan memandang jalur bertanah tegak lurus didepannya dengan pandangan putus asa. “Ya ada sih jalur lamanya tuh yang sebelah sana tapi kayaknya dah ketutup semak,” jawab saya sambil menunjukan jalur melingkar sebelah kiri saya. Sedangkan saya dan Ella memilih jalur direct bertanah ini saja.
Sesekali saya berteriak untuk mengukur jarak teman-teman dibawah kami, karena saat ini saya, Irfan, Ella, Nancy dan Ricky ada didepan dan tidak jauh dibawah ada maman, Anno dan Rita. Terdengar dua teriakan sahutan, yang satunya agak dekat dan satunya lagi cukup jauh. Mhmm rupanya rombongan belakang agak jauh tercecer. Akhirnya kami yang didepan memutuskan untuk menunggu di puncak saja. Dan sekitar jam 4 sore, rombongan pertama kami sampai dipuncak sempat berfoto sebentar dan udara makin dingin saya memutuskan untuk menunggu di Mandalawangi saja agar bisa mendirikan tenda dalam keadaan masih siang dan jika teman-teman datang minimal sudah ada tenda yang berdiri.
Mandalawangi kami raih saat kabut menggantung diatas pucuk-pucuk edelweiss yang bertebaran di tanah lapang ini, kuncup-kuncup daunnya basah oleh tetesan air hujan. Kesegaran bunga abadi perlambang cinta sejati ini semakin menyulut semangat dan kegembiraan saya. Kami mendirikan tenda diantara pepohonan edelweiss, sayang sekali saat ini bukan musimnya bunga abadi ini mekar jadi semerbaknya tidak terpancar ke penciuman kami. Tak lama berselang tenda berdiri, muncul Joan dengan Budi. Tampak Budi lemas sekali dan benar saja menurut informasi Joan dia sempat muntah-muntah di jalur trek tadi, dia langsung masuk kedalam tenda Maman dan beristirahat. Setelah saya perhatikan kondisinya sepertinya dia masuk angin dan kelelahan saja. Menjelang magrib semua rombongan telah sampai Mandalawangi. Saya dari siang tadi waktu istirahat makan siang di kandang Badak dilanda kantuk yang lumayan berat, mungkin karena semalam hanya sempat tidur 2 jam. Akhirnya saya mencoba tidur sejenak, dan tak disangka terlelap hingga jam 8 malam, baru terbagun saat saat mendengar suara Joan yang menawari Nancy makan. “lapar juga,” gumam saya perlahan. Dan akhirnya saya bangun untuk masak, dan setelah the manis hangat saya seduh mulailah saya memasak nasi dan kemudian merebus buncis sebagai lalapan. Lauk pauknya saya sudah menyiapkan lauk mateng yaitu rendang dan orek tempe campur kacang tanah dan teri, dan tak lupa sambal bajak untuk cocolan lalapan. Semua tenda sudah tertutup rapi kecuali tanda saya yang masih ada aktivitas. Agaknya selagi saya tidur tadi mereka sudah masak dan makan.
Saya perhatikan kabut mulai menghilang, dan suasana hening di Mandalawangi benar-benar sempurna saat itu tidak ada angin dan suara binatang malam. Langit tampak gelap tapi sedikit baisan rembulan menyembul menambah nikmatnya kesuyian di lembah yang dicintai oleh banyak pendaki ini, termasuk Joan salah seorang pendaki dalam kelompok saya.
“aku tuh belum pernah nginep di Mandalawangi sebelumnya, dan sekarang kesampaian,” ujar dia terlihat gembira saat membicarakan hal tersebut keesokan harinya.
Tak lama kemudian nasi saya mateng dan ternyata saya masaknya kelebihan, tidak apalah buat besok pagi kalo ngga habis hibur saya pada diri sendiri. Nikmat sekali makan malam sederhana ini ditengah sunyinya Mandalawangi. Dan perlahan rembulan menampakan dirinya. Dan sosok Mandalawangi malam itu perlahan terkuak.
“Perfect…” ujar saya perlahan.
Ya sempurna perjalanan ini, “Ada hujan….., ada kabut….., ada rembulan di Mandala wangi.” Kembali saya bergumam sendiri.
“Sayang sekali kau tak disini…” kali ini hati kecil yang bergumana…
Selesai makan saya mencoba untuk berbaring, tapi susah sekali tidur. Laaamaaaaa baru akhirnya tertidur juga, itupun setelah menghayalkan bermacam-macam hal termasuk kamu yang tidak disini.
Pagi masih dingin, dan terdengar suara Joan yang gembira sekali berada di Mandalawangi ini, agaknya itu anak cinta banget sama tempat ini seperti halnya mendiang Soe Hok gie yang namanya tak seakan menyatu dengan Mandalawangi ini. Hal tersebut tertuang dalam puisinya yang berjudul “Mandalawangi – Pangrango”.
Senja itu, ketika matahari turun ke dalam jurang-jurangmu
aku datang kembali
ke dalam ribaanmu, dalam sepimu dan dalam dinginmu.
Walaupun setiap orang bicara tentang manfaat dan guna,
aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan
dan aku teima dalam keberadaanmu
seperti kau terima daku.
Aku cinta padamu, Pangrango yang dingin dan sepi
sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada
Hutanmu adalah misteri segala,
cintamu dan cintaku adalah kebisuan semesta
Malam ini ketika kebisuan menyelimuti Mandalawangi,
kau datang kembali dan bicara tentang kehampaan
Hidup adalah soal, keberanian, menghadapi yang tanda tanya
Tanpa kita bisa menawar
“ Terimalah dan Hadapilah ! “
Dan antara ransel-ransel kosong dan api unggun yang membara,
aku terima semua itu
melampaui batas hutan-hutanmu, melampaui batas-batas jurangmu.
Aku cinta padamu Pangrango,
karena aku cinta keberanian hidup !
Jakarta, 19 Juli 1966
Soe Hok Gie
Seperti biasa kegiatan pagi di areal camp Ultralight Hiker ini mulai hidup bunyi dentingan periuk trangia dan raungan kompor gaz Primuss seakan mengisi suasana pagi di tempat sunyi ini. Sesekali gerimis masih turun namun, sempat sejenak mentari muncul malu-malu dan kemudian hilang lagi ditelan mega yang berarak. Satu tim pendaki lain sapai pagi tiu di Mandala Wangi, rupanya Emma dan kawan-kawan, saya sempat menayakan Danis salah satu peserta UH yang tercecer di jalan dan ditunggu disetiap tikungan tapi ngga nongol juga. Rupanya Danis gabung dengan kelompok Emma, dan menginap di Kandang Badak tapi dia tidak meneruskan ke Mandala Wangi, syukurlah ujar saya mendengar informasi tersebut.
Bersamaan dengan kami ada beberapa kelompok pedaki yang mengunjungi gunung ini yaitu kelompok Emma, kelompok Ike dan Kelompok Suwasti, dan semuanya merupakan teman-teman kami juga. Hanya yang terlihat di Mandala Wangi pagi ini, kelompok Emma dan Ike saja, sedangkan Suwasti tidak kelihatan batang hidungnya.
Kabut kembali menyelimuti areal Mandala Wangi, saat kami bergerak meninggalkannya dan setelah berfoto bersama di puncak kami segera turun. Tidak ada yang istimewa selama perjalanan turun, hanya kondisi jalur trek yang hancur membuat kami ekstra hati-hati saat melangkah. Di air panas secara tak terduga saya bertemu teman lama yang saya kenal di gunung Salak, Pak Bambang pria yang sudah cukup berumur ini tampak masih seger dan kuat menapaki tanjakan-tanjakan gunung. Di lokasi ini kami beristirahat sembari menunggu teman dibelakang. Sempat terdengar berita Anno kakinya oglek (ngilu dilutut saat dibengkokan menuruni jalan setepak), wah pasti dia akan lama jalannya, pikir saya. “udah jalan duluan aja ntar dia gue tungguin” ujar Rico menawarkan bantuan saat teman-teman yang lain mulai beranjak meneruskan perjalanan turun. “ya udah kalo gitu , tolong ya Ric” pinta saya pada Rico. Selain Rico Reza juga menderita kaki oglek
Akhirnya saya dan teman-teman sampai di Pos lapor Cibodas jam 5 sore, setelah berkali-kali istirahat menunggu teman-teman dibelakang namun tak kunjung muncul. Setelah lapor sama petugas volunteer, dan menginformasikan nama-nama yang dibelakang, lalu kami bergerak turun menuju warung Mang Idi di parkiran Cibodas untuk bersih-bersih dan istirahat menunggu teman-teman di belakang.
Satu persatu teman-teman muncul dan yang paling terakhir muncul adalah Anno, Rita dan Reza, jarum jam saat itu sudah menunjukan jam setengah tujuh lewat. Semua kumpul kembali dan bersiap-siap untuk kembali kepada kesibukan rutin setiap harinya. Perjalanan ultralight ini cukup sukses meskipun masih ada teman-teman yang memakai peralalatan yang bukan ultralight, tapi apa boleh buat toh saat ini peralatan UH masih susah didapat di Indonesia, dan mudah-mudahan produsen peralatan pendakian lokal melihat kesempatan ini dan mulai membuatnya.