“Wah.., banyak banget es diatas tenda bang..!” teriak beberapa teman memecahkan kesunyian pagi di tepi telaga Taman Hidup yang merupakan camp I kami dalam pendakian bersama milis highcamp di gunung Argopuro Jawa Timur. Memang semalam saja sekitar jam sepuluhan suhu sudah 0º C, pasti dini hari tadi bisa drop dibawah nol. Semua rumput disekitar tenda terlihat memutih tertutup lapisan embun yang membeku. Sementara tampak diatas telaga Taman Hidup kabut putih yang mengambang, hari ini cerah sekali langit biru pekat sempurna. Satu persatu teman-teman mulai keluar tenda dan memulai ritual pagi mereka, ada yang masak, ngobrol dan bengong menikmati suasana pagi yang suhunya masih membuat badan mengigil.
Begitulah sedikit gambaran camp pertama kami di hari kedua dalam event pendakian bersama HC tahun 2006 di Gunung Argopuro. Dalam pendakian ini kami semuanya berjumlah 22 orang dan didukung 6 porter. Hari pertama bermula saat kereta api malam Bima meninggalkan stasiun Gambir-Jakarta, ada 8 orang dalam rombongan kami dari Jakarta yaitu, Bang Hendrik, Mba Deasy, Lili, Toto, Dasmir, dan saya. Saat kereta sampai di stasiun Jogjakarta begabung satu orang lagi dalam rombongan kami yaitu Hafied member milis HC asal Jogjakarta, tapi saat itu kami tidak sempat ngobrol banyak karena kereta masuk Jogjakarta pada tengah malam dan rasa kantuk mengalahkan keinginan untuk ngobrol sama Hafied, alhasil saya kembali tertidur pulas.
Sekitar jam 6.30 pagi kereta yang kami tumpangi memasuki stasiun Gubeng Surabaya, dan dari sini kami akan beganti kereta dengan kereta Mutiara Timur tujuan Banyuwangi dan turun di Probolinggo. Lili dan saya ngurusin beli karcis, sempat harap cemas ngga kebagian tempat duduk karena sebelumnya kami dapat info kalau kereta ini sudah nyaris penuh. Ternyata saat sampai di loket masih banyak tempat duduk di kelas bisnis, jadi dengan mengeluarkan Rp.20.000,- per orangnya kami sudah mengantongi karcis kelas bisnis kereta Mutiara Timur. Kereta berangkat jam 9.10 WIB, masih banyak waktu untuk sarapan dan isitirahat, stasiun Gubeng pagi ini sudah ramai oleh para penumpang. Stasiun yang mempunyai dua sisi pintu keluar dan masuk ini cukup bersih dan nyaman. Pada sisi pintu masuk dan keluar yang baru, banyak terdapat bangku-bangku untuk tempat penumpang istirahat menunggu dan ditengah-tengahnya ada panggung kecil, dan di panggung inilah pengamen beraksi menghibur para calon penumpang. Mereka mengamen dengan peralatan musik lengkap dan alunan lagu yang dinyanyikan oleh penyayinya pun tidak kalah merdunya. Banyak yang terkesan dengan lagu mereka, ini terbukti dengan banyaknya orang yang memasukan duit pada tabung yang telah disediakan didepan panggung. “Ngamennya ala luar negri” celetuk saya sambil senyum ke arah Hendri SP.
Kereta Mutiara Timur meninggalakan stasiun Gubeng tepat jam 9.10, mhmm…. Ontime juga pikir saya. Sebetulnya masih ada satu lagi teman dari Surabaya yang menurut rencana akan bergabung, tapi karena satu dan lain hal dia terpaksa tidak jadi ikut. Tadi saat menunggu di Gubeng sempat kontak via telpon dengan Nia yang mengabarkan kalau dia sudah sampai di Bermi dan saya menyarankan untuk menunggu kami saja di penginapan Rengganis. Nia adalah member milis highcamp asal Bandung, dia bekerja pada Direktorat Vulcanologi Bandung dan kebetulan tengah bertugas di Bali mengawasi gunung Agung. Cewek manis berjibab ini rupanya orang pertama dari rombongan highcamp yang telah sampai di Bermi pagi ini. Selain Nia, saya juga sempat kontak dengan Pak Denny, anggota milis highcamp Jakarta yang berangkat dengan pesawat pagi ini, beliau mengabarkan kalau sudah sampai Juanda dan tengah menunggu Mba Endah dari Balikpapan. Mba Endah juga member milis HC dari Kalimantan. Sementara anggota rombongan lainnya yaitu Rizky yang sudah berada di Surabaya dari dua hari yang lalu mengabarkan kalau dia dan Dipa (HC Bandung) serta beberapa teman dari Surabaya yaitu, Kunto, Bagong dan Joko tengah meluncur menuju Probolinggo dengan menumpang bus pagi, sedangkan Ori si Master Plan pendakian tetap memantau dari Jakarta. “Sepertinya everything is Ok nih” gumam saya sambil memandang keluar jendela kereta yang tengah bergerak meninggalkan kota Surabaya menuju Probolinggo. Teman-teman ada yang bengong dan ada juga yang melanjutkan tidurnya yang mungkin masih terasa kurang.
“Ooooiii…. Dah nyampe Probolinggo lho..!!” teriak Lili, untung ada yang sadar dan ngga sampai kelewatan. Rupanya kami tengah sibuk masing-masing sebingga luput memperhatikan nama stasiun. Tapi syukurlah kami bisa buru-buru turun dengan mengendong ransel masing-masing. Rencananya di Probolinggo Juniornya Ori akan menunggu kami, Ori menempatkan juniornya karena dia tidak bisa ikutan even pendakian bersama yang dirancangnya ini dikarenakan dia jatuh sakit satu bulan sebelumnya dan hingga sekarang masih dalam fase penyembuhan. Tapi dia tetap tidak lepas begitu saja (thanks Ori), dia menempatkan 3 orang junior didikannya untuk bergabung dengan kami. Mereka adalah Agung, Chairul dan Hamimah. Merekalah yang membantu kami dalam mencari porter di Bermi. “Tapi tunggu punya tunggu kemana mereka? kok tidak tampak puncak hidungnya.” Gumam saya sendirian, saya coba menelpon tapi tidak diangkat akhirnya dari pada lama menunggu saya kontak Rizky yang sudah berada di terminal bus Probolinggo untuk nyari angkutan yang bisa di carter untuk mengantarkan kami ke desa Bermi. Rizky menyanggupinya dan sementara menunggu kami memutuskan untuk makan siang terlebih dahulu. Tak lama kemudian mobil cateran yang berisikan Rizky and the gank pun datang kami segera loading barang dan tancap gas menuju Bermi setelah mampir terlebih dahulu menjemput juniornya Ori. Cuaca cerah probolinggo dan suhu yang cukup penyengat mengatarkan kami menuju Bermi. Memasuki kawasan penggunungan angin yang berhembus lewat jendela mobil mulai terasa sejuk dan segar, meskipun begitu tidak menghilangkan kesan pemandangan musim kering yang berdebu.
Tak lama kemudian mini bus yang kami tumpangi sudah memasuki pelataran halaman penginapan Rengganis, gunung Argopuro tidak terlihat karena terhalang awan, namun udara terasa sejuk, dipelataran halaman samping tampak beberapa orang sedang shooting, rupanya ada artis lokal yang tengah membuat video clip, semula kami tidak menyadarinya karena sibuk dengan unloading ransel-ransel kami dari atas bus. Belakangan baru kami melihat ada artis dangdut lokal yang tengah beraksi, lumayan buat ganti-ganti pemandangan.
Penginapan Rengganis ini, lebih tepatnya disebut villa karena berupa sebuah rumah besar dengan lima kamar kapasitas 4 orang, berhubung kami ada banyak terpaksa satu kamar kami isi melebihi kapasitasnya, sewa satu kamar adalah semalamnya Rp.40.000,- cukup murah pikir saya. Saat saya, Lili dan Rizky kembali dari pengurusan perijinan pendakian di Polsek, rupanya Pak Denny, Mba Endah dan dua teman Mba endah dari Jogja yaitu Pram dan Indra sudah sampai di penginapan begitu juga dengan Arief si anak Dayak Kalimantan yang berdomisili di Malang juga sudah tampak hadir. Lengkap sudah tim kami berjumlah 22 orang dan sudah berkumpul semua. Malam ini kami akan menginap di penginapan ini dan besok pagi harinya kami akan memulai etape pertama perjalanan pendakian bersama ini menuju Telaga Taman Hidup dan mendirikan camp pertama disana.
Tak terasa senjapun mulai jatuh di desa Bermi, beberapa diatara kami tampak asyik ngobrol dan ada juga yang asyik repacking dan membenarkan settingan ransel yang bakal mengganduli punggung selama pendakian nanti. Setelah briefing singkat dengan porter mengenai teknis perjalanan besok, akhirnya satu persatu dari kami mulai terlelap dibawa mimpi masing-masing………
Hiruk pikuk teman-teman yang sudah bangun membuat saya terjaga, ternayata diluar sudah terang benderang. Dari jendela yang tidak ada gordennya terlihat jelas sosok pegunungan Argopuro terbalut kabut tipis pagi hari, saya keluar sebentar untuk merekam beberapa gambar dengan handycam. Tepat jam 08.00 semua teman-teman sudah siap untuk segera memulai etape pertama perjalanan pendakian bersama ini. Kami mulai mendaki lewat jalur yang biasa dipakai oleh penduduk. Jalur ini sedikit lebih cepat jarak tempuhnya dari pada jalur yang biasa dipakai pendaki. Semangat terpancar dari wajah teman-teman yang ikut dalam perjalanan ini. Setelah menyusuri jalan kampung kemudian berbelok ke kiri memasuki daerah perladangan penduduk, dan mulai manajak, daerah ini banyak ditumbuhi oleh pohon jati. Etape pendakian pertama ini akan berakhir di Telaga Taman Hidup disini kami akan mendirikan camp pertama. Tidak banyak yang istimewa disepanjang jalur pendakian dari Bermi ke Taman Hidup ini kecuali jalan setapak yang masih rimbun oleh semak dan cukup bersih dari sampah. Rombongan mulai terpecah jadi beberapa kelompok karena menyesuaikan dengan laju kecepatan pendakian masing-masing, tapi pada intinya masih tetap dalam kesatuan gerak. Mendekati daerah Taman Hidup jalur pendakian cukup menanjak tajam. Dan kemudian turunan yang berujung pada sebuah pertigaan. Jalur kekanan akan mengantarkan kita sampai di Telaga Taman Hidup. Malam pertama kami di Taman Hidup akan kami habiskan di pinggir telaga ini, rombongan pertama yang sampai di sana sekitar jam 03:00 sore dan segera mendirikan tenda persis dipinggir telaga, semula porter kami pada bilang pasti kami akan kedinganan, saya tersenyum dan bilang “kalo takut kedinginan ya di Jakarta aja..” Tidak lama kemudian tenda kami sudah berdiri melingkar. Malam harinya langit penuh bintang, indah sekali dan dingin sekali…….
Taman hidup adalah sebuah telaga yang teletak ditengah lembah dan dikelilingi oleh bukit, jika cuaca cerah dan matahari bersinar terkadang kita bisa melihat ikan yang berenang didalam airnya yang jernih dan beriak kecil. Pada malam di musim kering, suhu di sekitar telaga ini bisa turun dratis hingga titik nol, begitulah yang kami alami sewaktu menginap disini, saat tadi malam kami ngumpul di tenda Pram sekitar jam 10 saja suhunya sudah nol derajat celcius, makanya pagi ini banyak sekali butiran es dari embun yang membeku diatas tenda saya dan menjadi totonan menarik bagi teman-teman, rumput-rumput disekitar tenda kamipun memutih tertutup embun yang membeku, “mhmmm… frozen morning..” gumam saya sembari memencet shutter camera mengabadikan suasana pagi itu di sekitar basecamp kami di Taman Hidup. Ritual pagi memasak sarapanpun dimulai, Lili sebagai ‘emak’ di regu saya mulai sibuk bikin nasi goreng, sementara teman-teman yang terbagi dalam beberapa regu juga sudah memulai aktifitasnya.
Hari ini merupakan etape kedua dari pendakian bersama ini, etape kedua ini dari Taman Hidup hingga ke Cisentor, dan merupakan etape yang cukup panjang melingkari punggunan dan turun naik bukit, jalan setapaknyapun tertutup oleh semak-semak yang cukup tebal yang terkadang membuat susah untuk melangkah. Sesekali ditengah perjalanan kami melihat kera hitam berloncatan diatas pohon. Pada etape ini juga banyak ditemukan daun jelatang atau daun bulus, jika daun ini sampai bersentuhan dengan kulit maka kita akan merasakan gatal dan panas yang luar biasa. Bahkan Lili yang sudah memakai baju lengan panjang masih bisa tembus disengat oleh daun ini. Karena panjangnya jalur trek yang dihadapi membuat kami terpaksa harus menikmati santap siang ala kadarnya, yaitu berupa roti, coklat dan makanan ringan lainnya. Aeng Kenik kami capai sekitar jam 2 siang, dan setelah mengisi persediaan air serta istirahat secukupnya kami kembali melanjutkan perjalananan mengikuti jalan setapak yang berputar-putar naik turun bukit. Keadaan jalan setapak disepanjang rute etape kedua ini memang cukup membosankan, namun saat-saat terakhir kita akan bertemu sebuah savanna dan merupakan savanna yang pertama kita temui untuk jalur Bermi. Keindahan savanna kecil ini rasanya cukup sebagai pengobat bosan setelah melewati jalur pendakian panjang yang membosankan.
Setelah melewati savanna kecil ini jalur pendakian kembali menuntun kami memasuki lebatnya hutan Argopuro, dan sekitar jam 4 sore rombongan pertama memasuki Cisentor. Di Cisentor ini terdapat sebuah pondok dan didepan pondok tersebut ada tanah yang cukup lebar hanya saja sedikit miring, sedangkan di sisi kiri sebelah atas pondok terdapat tanah lapang akan tetapi permungkaan tanahnya berlobang-lobang dan bergelombang. Jelas sekali terlihat lobang-lobang tersebut adalah hasil kerja dari pada babi hutan alias celeng yang mencari umbi-umbian dan cacing tanah yang merupakan makanan pokoknya. Akhirnya kami memutuskan untuk mendirikan tenda didepan pondok dengan harus menerima kondisi tanah yang sedikit miring. Meskipun begitu setelah semua rombongan sampai di Cisentor, sebanyak 11 tenda berhasil kami dirikan pada lahan sempit dan miring tersebut, dan jadilah pemukiman kami seperti pemukiman di daerah yang padat dan rapat seperti ‘gang kelinci’. Mungkin karena rasa capek yang lumayan mendera setelah perjalanan panjang pada etape ke dua ini, tampaknya teman-teman kehilangan nafsu untuk ngumpul dan ngobrol diluar tenda, selesai makan rata-rata mereka langsung masuk kedalam sleeping bag masing-masing. Dan malampun semakin larut, kamipun terlelap diiringi kemericik suara air yang bersumber dari sungai yang tidak jauh dari lokasi perkemahan kami…………
Malam terasa pendek sekali, mungkin karena sangat capek setelah menempuh etape pendakian yang terpanjang di gunung ini kemaren membuat saya tertidur pulas semalam hingga pagi harinya. Dentingan misting dari tenda sebelah membangunkan saya, rupanya “the honeymoon couple” Lili dan TOTO sudah bangun dan lagi memasak sesuatu, sementara teman satu tenda yang namanya juga sama dengan saya sudah bangun duluan rupanya. Tiba-tiba pintu tenda ada yang membuka dan kepalanya Hendri SP teman satu tenda saya nongol, “Minum bang?” dia menawarkan secangkir the manis anget, wadung baik sekali teman yang satu ini. Rasa hangat hangat dan nikmat the manis segera menghangatkan kerongkongan dan perut saya, perlahan saya keluar dari tenda “mhm masih jam 6 pagi rupanya” gumam saya perlahan setelah melirik jam dipergelangan tangan. Sebagian teman-teman masih terlelap, hari in adalah hari summit attack kami, seleruh barang kami tinggal di Cisentor, dan kami hanya akan berbekal makanan dan minuman saja untuk perjalanan ke puncak nanti.
Dari rencana awal jam 7 sedikit molor hingga baru jam 8.30 kami baru mulai bergerak menuju puncak, sementara di cisentor, Rizky, Kunto, dan Joko serta 4 orang porter tidak ikut ke puncak, mereka memilih bersantai saja di Cisentor menunggu kami. Perjalanan ke menuju puncak melewati banyak sekali padang rumput, namun saying sekali disetiap savanna yang kami lewati penuh lobang, rupanya populasi babi hutan cukup tinggi disini. Bahkan saat kami sampai di Rawa Embik, padang rumput disana sudah berlobang-lobang karena di gali oleh babi hutan yang mencari makanannya berupa umbi-umbian dan cacing. Untunglah kami tidak jadi untuk menjadikan Rawa Embik ini sebagai lokasi Camp II, pasti tidak akan nyaman sekali tidur malam hari sementara banyak babi hutanyang berkeliaran. Saya, Pak Denny, Hendri SP, Chairul dan Hamimah, lebih dulu sampai di Rawa Embik, sementara teman-teman yang lainnya masih dibelakang. Saat memasuki Rawa Embik kami sempat melihat tiga ekor burung merak, tapi sayang keburu terbang karena mungkin kaget mendengar suara Chairul yang kalau berbicara selalu dengan suara yang keras dan lantang. Rawa Embik adalah sebuah savanna yang cukup luas dan ditengahnya megnalir kali kecil berair jenih. Dipinggir kali kecil itu banyak ditumbuhi oleh daun salada air. Banyak juga pendaki yang menjadikan tempat ini sebagai basecamp sebelum mendaki ke puncak, karena jarak kepuncak jauh lebih dekat jika dibandingkan dengan Cisentor. Kami tidak lama berhenti disini setelah mengisi ulang persediaan air, kami melanjutkan perjalanan menuju puncak, savanna demi savanna kami lewati dan sementara semerbak wangi bunga abadi edelweiis memenuhi udara. Memang saat kami berkunjung ke gunung ini bertepatan dengan saat bunga-bunga perlambang cinta abadi itu bermekaran, semerbak wanginya selalu tercium saat kami melewati pada savanna yang banyak ditumbuhi bunga tersebut.
Tidak lama kemudian kami telah memasuki savanna lonceng, savanna ini merupakan pertigaan jalur menuju puncak utama Argopuro dan puncak Rengganis. Konon menurut legenda, Savanna Lonceng ini adalah tempat para pengawal Dewi Rengganis menambatkan kuda-kuda mereka. Untuk mencapai puncak utama Argopuro dari Savanna Lonceng ini kita belok kekanan membelah tengah savanna, dari savanna ini puncak Argopuro jelas terlihat dan sangat dekat. Hanya butuh waktu sekitar 15 menit untuk sampai di puncaknya, puncak Argopuro banyak ditumbuhi oleh cemara gunung dan ini membuat sejuk meskipun kami sampai di puncak ini pas tengah hari bolong dan matahari bersinar garang, namun kesejukan angin dan rindangnya pohon cemara gunung membuat kami betah berlama-lama dipuncak yang lebarnya hanya 8 x 8 meter ini sembari menunggu teman lainnya yang masih bergelut dengan tanjakan akhir untuk mencapai puncak Argopuro. “Oiiii puncak…… hahahahahahaha…” teriak pak Denny sembari ketawa lebar.
Setelah semua teman sampai puncak dan kami membuat kenangan foto bersama, kemudian kamipun turun melewati jalan setapak kearah yang berlawan dari yang kami daki tadi, jalan setapak ini turun menuju puncak kedua tertinggi di kawasan ini, kami menamakan puncak ini dengan “PUNCAK ARCA” karena di bawah sedikit dari puncak ini ada sebuah arca, namun sayang tangan-tangan maling telah memotong kepala arca tersebut. Dari gigiran punggungan Puncak Arca kita bisa melihat jelas jejeran pegunungan Mahameru, Bromo, Arjuno kompleks dan juga gunung Lamongan. “Aduh ngga nyesel ikut..” kembali Pak Denny berseru takjub melihat suguhan pemandangan yang ada. Keadaan puncak Arca sendiri terdiri dari banyak bongkahan batu-batu, namun jika kita perhatikan dengan seksama nampak jelas batu-batu tersebut seperti disusun dengan rapi menyerupai sebuah bangunan, jelas tak salah lagi lokasi ini juga merupakan sebuah kompleks bangunan tua atau mungkin saja candi yang telah rusak dimakan usia atau tangan-tangan jahil pencoleng benda purbakala. Kami tidak terlalu lama di puncak Arca, setelah melewati puncak ini kami kembali turun ke sisi lainnya tidak jauh dari puncak kami menemukan dua batu yang berbentuk gerbang, kemudian kami mengambil jalan setapak yang berbelok ke kiri dan turun kembali kearah Savana Lonceng, sementara dikiri jalan tampak jelas kawah mati Rengganis.
Setelah kembali melayari savanna lonceng kami tiba kembali di lokasi pertigaan tadi, dan kemudian segera bergerak mendaki puncak yang paling popular olrh pendaki yaitu puncak Dewi Rengganis. Hanya butuh waktu sepuluh menit dari pertigaan savanna lonceng kemudian kami sudah memasuki areal pucak Dewi Rengganis, bau belerang segera menyerbu hidung kami, hampir seluruh puncak ini berwarna putih karena belerang dan saat memasuki reruntuhan candi Rengganis bau belerang kian tajam. Tak pelak lagi jika kita melihat keadaan puncak Rengganis ini agaknya cerita tentang Dewi Rengganis mungkin benar adanya. Dipuncak ini terlihat jelas bekas reruntuhan bangunan yang terbuat dari batu, ada beberapa kamar-kamarnya serta undakan-undakan hanya sayang sekali tempat yang dipercaya sebagai kuburan Dewi Rengganis sekarang tampak hanya seperti susunan batu-batu dan ada beberapa sesajen diatasnya. Dari puncak Rengganis ini kita juga bisa jelas melihat beberapa jejeran pegunungan di timur pulau jawa. Setelah cukup puas kami memutuskan untuk turun menuju Cisentor kembali, sementara beberapa teman masih asyik mengexplore kawasan puncak Rengganis.
Perjalanan turun tidak terlalu lama seperti halnya perjalanan pendakian tadi, sekitar jam 3 beberapa dari kami sudah berada kembali di Cisentor. Sedangkan teman lainnya masih di belakang dan tidak terlalu jauh jaraknya. Setelah melihat keadaan fisik dari beberapa teman dan menimbangnya bersama, kami memutuskan untuk menginap kembai di Cisentor dan baru ke esokan harinya kami akan terus turun ke Cikasur. Malam ini kami mendata ulang jumlah logistik yang tersedia, untunglah sebelum berangkat kemarin saya menganjurkan untuk melebihkan logistik untuk satu hari dari rencana pendakian kami, jadi kami masih punya logistic cukup meskipun ada beberapa regu juga yang menipis logistiknya, akan tetapi kami memutuskan untuk nantinya di Cikasur membuat dapur umum saja dan masak bersama untuk keseluruhan regu. Malam ini kami isi dengan ngobrol bareng sembari minum teh, dan tak terasa malampun mulai larut dan perlahan satu persatu dari kami masuk ketenda masing-masing dan terlelap dihangatnya pelukan sleeping bag mereka.
Pagi ini kami rata-rata pada bangun siang karena memang sesuai rencana kami baru jalan menuju Cikasur pada jam 10 pagi. Seperti biasa suasana pagi ini di camp Cisentor masih sepi beberapa tenda masih tertutup rapat, tapi sementara di sungai suara beberapa orang perempuan terdengar, rupanya sudah ada juga yang bangun pagi pikir saya sembari kembali bergelung didalam sleeping bag. Cikasur hanya berjarak sekitar dua jam perjalanan dari Cisentor dan tepat sekitar jam sepuluhan kamipun mulai bergerak meninggalkan Cisentor, setelah menyeberangi sungai di Cisentor kami kembali dihadapkan pada sebuah tanjakan yang cukup curam dan dibeberapa tempat masih dijumpai daun jelatang yang membuat kami terus waspada agar tidak tersengat. Beberapa saat jalan setapaknya masih melipiri punggungan dan tak lama kemudian barulah kami dihadapkan pada beberapa bentangan padang rumput yang cukup luas, “kayak filem Little house on praire nih…” ujar Dipa sewaktu kami memasuki sebuah savanna yang lumayan luas. Dan setelah beberapa kali keluar masuk savanna akhirnya kami sampai pada sebuah bentangan savanna yang sangat luas, yah inilah Cisentor yang konon menurut cerita ditempat ini dulunya pada jaman Belanda akan dibuat sebuah lapangan terbang. Karena menurut ceritanya pada jaman tersebut Belanda berencana untuk membuat penangkarang rusa di lokasi ini dan dagingnya akan di bawa dengan menggunakan pesawat terbang. Akan tetapi ternyata rencana tersebut belum terwujud mereka sudah keburu menyerah kepada Jepang.
Di Cikasur ini terdapat sebuah pondok kecil yang bisa memuat sekitar sepuluh orang, dan kembali kami dihadapkan dengan masalah susahnya mencari areal untuk mendirikan tenda karena keadaan padang rumput yang cukup tebal dan membuatnya tidak rata. Setelah membicarakannya dengan teman-teman akhirnya kami memutuskan untuk mendirikan tenda di jalan setapak yang lebar, jalan ini menurut informasi terkini merupakan jalan untuk motor ojek orang kampung Baderan yang datang untuk mengambil daun selada air. Hal ini cukup membuat kami berharap semoga alam asli gunung Argopuro ini tidak sampai tercemar. Tenda kami berdiri berjejer di gigiran jalan disebuah punggungan yang menghadap kea rah sungai kecil Cikasur. Dari posisi kami mendirikan tenda kami bisa memandang lepas kearah sungai, “Hei ada dua ekor burung merak yang lagi minum noh…” teriak Toto sembari meunjuk kearah hilir sungai dan memang disana terlihat dua ekor burung merak yang tengah minum.
“Kerjasama tim yang kompak..” ujar saya mengomentari hasil kerja teman-teman yang mendirikan dapur umum. Semua sibuk dengan tugas masing-masing dan sayapun kebagian tugas memasak nasi. Empat kompor trangia menyala serentak memeriahkan acara masak bareng-bareng ini, dan seperti rencana semula menu malam ini bakal dimeriahkan dengan menu tambahan tumis sayur daun selada air yang dipetik oleh Toto dan Dasmir sore tadi. Selesai makan tidak banyak kegiatan teman-teman mereka segera terlelap dibuai mimpi masing-masing. Saya didalam tenda memindahkan data waypoint GPS ke peta topo yang saya bawa dan akhirnya tidak bertahan lama juga karena rasa kantuk yang menyerang dan akhirnyapun saya menyerah terlelap dalam dekapan malam di Cikasur.
Pagi menjelang, karena posisi camp kami diatas punggungan maka sinar matahari cepat sekali mengenai tenda. Seperti rencana semula, kami akan melanjutkan perjalanan sepagi mungkin, tapi rencana tinggal rencana akhirnya kami mulai bergerak sekitar jam 8 pagi. Perjalanan hari ini adalah merupakan etape terakhir dalam perjalanan pendakian Argopuro ini, saya berharap teman-teman semuanya bisa mencapai Barderan sebelum malam hari. Hal yang membuat saya berharap demikian adalah jika kemalaman saat melewati perladangan penduduk ada kemungkinan teman-teman yang baru mendaki gunung ini akan kesasar karena diperladangan tersebut banyak sekali jalan bercabang yang menyesatkan. Pada teman-teman yang berjalan paling duluan, saya menyarankan jika nanti saat memasuki Baderan ternyata hari telah gelap maka yang jalan paling depan agar menunggu teman-teman yang lain dan setelah itu berbarengan bersama-sama memasuki Baderan agar tidak ada yang tercecer.
Di perjalanan hari ini kembali kami disuguhkan dengan beberapa padang rumput yang luas dan setelah melewati savanna terakhir jalan setapak kembali menanjak karena kami harus melewati sebuah bukit dan setelah itu jalan setapak terus berada diatas punggungan yang kiri kanannya jurang. Sekitar jam dua siang kami sampai di perladangan penduduk dan tak lama kemudian kami melihat rombongan yang paling didepan tadi yaitu Hendri SP dan beberapa orang porter tengah beristirahat di rumah penduduk sembari menikmati jagung rebus suguhan petani tersebut. Mhmmm… nikmat sekali, perut yang cukup lapar karena hari ini tidak sempat istirahat makan siang tadi segera terisi dengan jagung rebus yang manis dan nikmat. Saya cukup surprise juga karena beberapa teman yang fisiknya mulai agak lemah ternyata bisa cepat sampai di perladangan penduduk ini. Sementara yang belum terlihat adalah rombongan sweaper Risky CS dan dua orang teman dari Jogja yaitu Pram dan Indra. Setelah menunggu cukup lama akhirnya teman-teman meminta untuk menunggu di desa Baderan saja, saya melirik jam tangan ternyata sudah jam 3 sore. Akhirnya kami pun segera bergerak turun ke Baderan, saya yakin dengan rombongan dibelakang yang merupakan pendaki gunung yang bukan baru sekali mendaki gunung, pasti mereka tidak akan bermasalah dengan jalur, batin saya. Sekitar jam setengah lima sore kami memasuki desa Baderan, dan beristirahat di sebuah warung, semula kami berencana untuk menginap di Baderan tetapi karena tidak ada penginapan dan juga rumah atau kantor KSDA yang semula kami kira masih tidak ditempati, akan tetapi ternyata sekarang sudah ditempati oleh kepala KSDA yang baru. Jadi jumlah kami yang 23 orang ini tidak akan muat disana. Sekitar jam 7 malam akhirnya semua rombongan berkumpul, dan kami langsung turun ke Besuki, hanya teman-teman dari Surabaya yang memutuskan untuk menginap di Baderan malam itu.
Akhirnya malam ini kami bisa juga tidur di kasur empuk setelah selama empat malam kami tidur di tenda, hotel yang kami dapat posisinya berada dipinggir jalan. Setelah mandi dan makan malam kami segera terlelap, besok mba Endah, Pram, Indra dan Pak Denny akan duluan ke Surabaya untuk mengejar pesawat pagi. Sedangkan kami akan kembali naik kereta Bima pulang menuju Jakarta………