“Gue masih dijalan, ada kerusakan mesin nih. Mungkin dua jam lagi baru sampe..” ujar suara diseberang telpon. Dia adalah Halida, anak Palembang yang kerja di Pekan Baru. Sekitar jam sebelas siang saya dan teman-teman baru saja mendarat di Bandara Sultan mahmud Badaruddin II, Palembang. Ada enam orang dalam rombongan kali ini yaitu Bang Kamser, Yadoet, Ogen, Titi dan Rina. Sedianya ada Fedy yang bakal ikut tapi karena tugas yang tidak bisa ditinggalkan akhirnya digantikan oleh Ogen. Telpon dari Halida saya terima saat tengah menunggu bagasi di arrival hall. Halida juga akan ikut dalam rombongan kami, kali ini kami akan mengunjungi atap dari bumi Sriwijaya ini yaitu Gunung Dempo.
Apa boleh buat, kami menunggu Halida yang tengah berjuang untuk segera sampai di Palembang. Sedianya menurut rencana Halida sudah ada di bandara menjemput kami dan segera berangkat ke Pagar Alam yang merupakan entry point ke gunung Dempo. Hujan mengguyur bumi Sriwijaya, sementara kami menunggu Halida dan ternyata mobil travel yang kami pakaipun tidak bisa berangkat lebih cepat dari waktunya seperti rencana kami, entah salahnya di komunikasi atau mereka yang tidak tepat janji, yang pasti kami tidak bisa berangkat lebih cepat dari jadwal mereka walaupun kami mencarter satu mobil. Menurut informasi yang didapat baru ada satu perusahaan travel yang beroperasi untuk trayek Palembang dan Pagar alam ini. Jadi memang mau tidak mau akhirnya saya hanya bisa memendam rasa dongkol karena sudah akan terbayang waktu tunggu yang terbuang percuma. Hujan terus mengguyur dan setelah makan siang Halida pun nongol menjemput kami, tidak tanggung-tanggung kedua orang tuanya pun ikut menjemput, wah jadi tidak enak. Dan kami pun melaju memasuki kota Palembang dan langsung ke lokel travel, disana kami harus masih menunggu. Alasan mereka tidak bisa berangkat cepat adalah karena mobil tidak ada semua sedang dalam perjalanan dari Pagar Alam menuju Palembang. Kendaraan travel ini sehari hanya beroperasi dua kali untuk trayek Palembang – Pagar Alam yaitu pada pukul 08.00 pagi dan pukul 17.00 sore. Kembali kebosanan menunggu melanda kami……….
Akhirnya setelah penantian yang cukup membosankan itu, sekitar jam enam sore akhir kami semua bisa juga duduk didalam mobil L300 yang telah melaju membawa kami menuju Pagar Alam. Perjalanan yang akan kami tempuh kurang lebih tujuh jam, tidak ada yang istimewa selama perjalanan, kecuali canda tawa kembali terdengar setelah tadi selama menunggu semua terlihat bungkam karena bosan. Malam semakin larut mobil semakin melaju membelah gelap malam dan satu persatu dari kamipun tertidur .
Sekitar jam 12 malam lewat kami dibangunkan oleh supir mobil tepat berhenti dipinggir jalan dan saya ingat ini adalah Rumahnya Pak Anton, akan tetapi rupanya pak anton sudah tidak tinggal disana lagi. “Pak Anton tinggal dirumahnya sendiri sekarang diatas dekat kebun teh” kata orang yang menempati rumah lama pak Anton. Tidak susah menemukannya dan setelah bertemu pak Anton kami pun menginap di pondok pendaki dibelakang rumah pak Anton. Disana sudah ada dua orang anak Pecinta Alam Edelweiss dari Universitas Atmajaya Jakarta., tidak lama kemudian kami sudah terlelap kembali karena rasa kantuk yang tidak tertahan.
Cukup lelap tidur semalam dan saya baru terbangun jam setengah enam, sementara yang lain masih terlihat tidur nyenyak, mau tidak mau harus dibangunkan karena harus berangakt pagi. Akan tetapi hambatan baru kembali kami hadapi yaitu lewat informasi dari istri pak Anton kami baru tahu bahwa alat transportasi menuju Kampung Empat yang merupakan entry point pendakian sudah berangkat jam lima pagi lalu, dan mobil lain yang bisa dicarterpun tidak ada. Waktu semakin berjalan matahari semakin naik, akhirnya saya berhasil mendapatkan kendaran pickup untuk dicarter, sekitar jam sepuluh lewat akhirnya kami baru bergerak menuju Kampung Empat. Saya pernah mengunjungi gunung ini tapi itu semasa di SMA dulu kalau dihitung waktu sekitar 20 tahun yang lalu, banyak sekali perubahan yang terjadi di Pagar Alam ini, dan ini pun berdampak pada penentuan titik awal menuju pintu rimba, saya lupa!!!! Dan gawatnya juga Halida yang sudah tiga kali ke gunung ini juga lupa, wah gimana???? Teman-teman pada punya inisiatif menelpon teman-temannya yang pernah mendaki gunung ini. Namun petunjuk yang didapat tidak begitu jelas, akhirnya setelah celingukan di kebun teh, kami menemukan juga sebuah jalan setapak, jalan ini pada awalnya cukup jelas namun setelah lama berjalan jalannya tidak begitu jelas dan terkadang putus. Namun saya merasa sepertinya dulu waktu mendaki gunung ini melewati jalur yang ini. Jalurnya cukup bagus meskipun terkadang tertutup semak belukar dan daun-daun lapuk, stringline (tali raffia yang diikatkan pada pohon) penujuk jalan masih ada dibeberapa tempat meskipun sudah lapuk dimakan usia. Yang enaknya dari jalur ini adalah kondisinya yang lurus terus di satu punggungan dan dikiri kanannya ada aliran sungai. Saya memutuskan untuk terus melewati jalur ini, dan perlahan kami terus menambah ketinggian. Tidak ada pos pada jalur ini, yang ada hanyalah lumut tebal pada jalan setapak dan pohon-pohon disekitarnya.
Hari semakin sore, kami masih di jalur lama dan belum menemukan jalur normal, tapi dari altimeter di GPS sudah menunjukan ketinggian 2500 lebih, dan dari jenis tumbuhan vegatasi daerah puncak sudah mulai dijumpai dan ini membuat saya semakin optimis. Akhirnya kami sampai pada daerah yang jalan setapaknya tiba-tiba hilang, lalu Ogen pun ditugaskan memantau kedepan sementara yang lainnya menunggu, dan ternyata jalur normal tidak jauh dari kami hanya berjarak sekitar lima belas meter. Kami semua senang sekali dan yang lebih menyenangkan adalah sekitar sepuluh meter dari pertemuan jalur lama dan jalur normal ini adalah merupakan lokasi dari Pos II. Jarum jam menunjukan pukul lima lewat sepuluh menit. Hujan kembali turun, kali ini cukup deras dan kamipun memutuskan untuk beristirahat di pos II masak dan berteduh. Dibawah bentangkan fly sheet kami duduk saling menghangatkan diri menunggu masakan matang. Dari pagi kami belum bertemu nasi. Sementara malam mulai turun dan hujan masih terus mengguyur, kami kemudian memutuskan untuk istirahat hingga jam sepuluh malam sambil menunggu hujan reda dan kemudian baru meneruskan kembali menuju alun-alun atau pendaki lokal menyebutnya dengan pelataran.
Tapi setelah perut cukup terisi proses pencernaan telah menghasilkan panas tubuh yang kami butuhkan. Setelah packing perlahan kami kembali meneruskan perjalanan menembus malam, iring-iringan headlamp (senter kepala) kami perlahan bergerak meninggalkan Pos II. Rute pendakian dari pos II ini terasa sangat menanjak dan tak jarang kami harus mengeluarkan tenaga ekstra memanjat undakan tanjakan yang tingginya kadang mencapai dua meter. Hujan telah berhenti namun kali ini kami ditemani kabut tebal dan angin kencang, sangking tebalnya kabut cahaya headlamp kami tidak mampu menembus jauh. Setelah perjalanan kemaren kami kurang cukup tidur ditambah lagi trekking malam membuat rasa kantuk mudah menyerang kami, setiap beristirahat maunya mencari tempat duduk yang nyaman dan tak jarang tertidur. Akhirnya kami memutuskan untuk berhenti dan tidur, namun lokasi untuk mendirikan tenda susah didapat, kami menemukan satu lokasi tapi hanya muat satu tenda, kemudian saya dan Yadoet memutuskan untuk mencoba men-survey kedepan mungkin ada lokasi yang bisa memuat tiga tenda, tapi nihil, sementara angin bertiup sangat kencang. Maka jadilah mau tidak mau kami harus mendirikan satu tenda saja, dari ketiga tenda yang dibawa tenda TNF seri Oval 25 kayaknya layak untuk dimuati tujuh orang dan kamipun mulai mendirikan tenda tersebut dibawah tiupan angin yang cukup kencang, lokasi tendanya pas sekali untuk ukuran tenda itu malah agak melipir kejurang. Semua ransel dan barang kami kumpulkan jadi satu diluar tenda, setelah berganti pakaian satu persatu kami memasuki tenda. Ajaib jumlah tujuh orang bisa masuk kedalam tenda ukuran dua orang (dua orang untuk ukuran standar dari pabrik TNF). Dengan sedikit improvisasi mengatur posisi tidur akhirnya kami bertujuh bisa juga berbaring meskipun tidak bisa bergerak banyak, dan jadilah malam itu kami ber ‘Seven sum’ di Dempo, ya bertujuh dengan satu tenda. Mungkin karena rasa capek dan rasa kantuk yang tak tertahan cepat sekali saya terlelap tidur meskipun sayup-sayup terdengar dengkuran cewek dan bahkan ada yang juga mengigau memanggil-mangil nama seseorang.
Cukup lama kami berlindung dari hujan dibawah bentangan flysheet (lembar anti air). Dan setelah hujan perlahan berhenti, jam sudah menunjukan pukul sepuluh malam, perut sudah terisi makanan, tadi sewaktu perut kosong hawa dingin gunung terasa sangat menusuk. Akan teSaya terbangun saat merasakan sentuhan hangat pada pipi saya, saat buka mata ternyata muka saya menempel pada diding tenda dan pas sekali tersiram dengan cahaya matahari yang menerobos lewat sela-sela pepohonan. Masih malas untuk bangun tapi harus bangun karena kami masih harus melewati etape tanjakan daerah cadas yang akan mengantarakan kami ke puncak Dempo, yang merupakan puncak kedua gunung ini. Gunung Dempo mempunyai dua buah puncak, yang pertama disebut dengan puncak Dempo, puncak ini akan pertama kali kita lewati saat mencapai kawasan puncak dan yang kedua disebut dengan Puncak Marapi yang merupakan puncak utama dari gunung Dempo. Selepas puncak Dempo jalan setapak akan turun menuju daerah alun-alun atau pendaki setempat menyebutnya dengan sebutan “Pelataran” padang rumpun ini cukup luas dan terdapat sumber air berupa sungai kecil yang mengalir jernih. Dari sini menuju puncak Marapi tidak jauh lagi hanya sekitar 30 menit pendakian. Kami bertujuh sampai di puncak Dempo ketika hari masih pagi dan setelah berfoto bersama kami segera turun menuju Pelataran dan sejenak beristirahat sembari minum teh hangat. Kemudian tidak membuang waktu kami segera bergerak menuju puncak utama.
Cuaca cerah sekali, langit biru berawan, kawah gunung Dempo jelas utuh terlihat berwarna putih kehijau-hijauan, warna air kawah gunung Dempo ini kadang kala berubah menjadi warna hijau pekat atau putih pekat. Saat dipuncak kami sempat bertemu dengan adik-adik dari kelompok pecinta alam Edelweiss Universitas Taruma Negara Jakarta. Setelah berfoto-foto dipuncak dan menikmati pemandangan dari puncak kami pun kembali beranjak turun menuju pelataran, dan memasak makan siang disana, untung sekali Halida membawa rendang dan Titi membawa orek tempe sehingga bisa dijadikan lauk teman makan nasi. Sebenarnya ada tawaran yang lebih menggiurkan lagi kami terima yaitu tawaran dari penduduk Pagar alam yang kebetulan tengah mengadakan upacara syukuran di pelataran dengan menyemblih kambing, tawaran ikutan makan daging kambing terpaksa kami lewatkan karena pasti bakal lama dan memakan waktu.
Perjalanan turun kami menggunakan jalur normal, namun jika dibandingkan dengan jalur lama yang kami pakai naik kemaren. Jalur normal ini jauh lebih hancur, saya bilang hancur adalah karena sangat terjal dan dipenuhi akar pohon yang malang melintang. Undakan tanjakannya tinggi-tinggi dan di perparah lagi dengan kondisi yang basah dan licin, harus ekstra hati-hati melewatinya dan di beberapa tempat kami menemukan pohon yang baru tumbang, mungkin ini disebabkan oleh badai yang lumayan kencang semalam. Jalur lama yang kami tempuh naik kemaren jalan setapaknya meskipun sudah tertutup oleh semak dan dedaunan tapi cukup kompak dan enak untuk ditapaki. Hanya sesekali kami menemukan rintangan berupa pohon tumbang atau jalur yang terputus. Cukup dengan orientasi medan dan dibantu dengan data dari GPS jalan setapaknya kembali bisa ditemukan. Tapi jalur normal meskipun sangat jelas, namun untuk mendakinya atau menuruninya kita harus berpegangan pada akar-akar pohon selain itu juga rute normal jalurnya beberapa kali pindah punggungan serta melingkar ini sangat berpengaruh pada kecepatan tempuh, jalur lama hanya bergarak lurus dalam satu punggungan meskipun punggungan yang terpecah akan tetapi masih dalam alur punggungan yang sama. Sewaktu berbicang-bincang dengan adik-adik dari Edelweiss saat kami bertemu lagi di Pos I, mereka menceritakan saat mulai mendaki dari pintu hutan sekitar jam delapan pagi dan sampai di Pos II jam lima sore, sedangkan kami mulai dari pintu hutan jalur lama jam sebelas siang dan sampai di Pos II jam lima sore lewat sepuluh menit, dan ditengah perjalananpun kami sempat beristirahat makan siang selama satu jam. Jadi sebenarnya jalur lama ini jauh lebih cepat dan lebih nyaman untuk di tempuh, dan selain itu banyak sumber airnya karena di kiri kanan jalur ada sungai yang mengalir.
Saya dan Yadoet turun duluan karena kami telah membuat janji dengan supir pick-up untuk menjemput kami di entri point kebun teh, akan tetapi mengingat sewaktu kami bergerak turun dari lokasi camp tadi sudah jam tiga sore, agaknya kalau tidak cepat-cepat tidak akan keburu sampai dibawah sana jam lima sore. Meskipun sudah berusaha cepat untuk sampai dibawah, karena keadaan medan jalan setapaknya yang sangat terjal dan dipenuhi oleh akar-akar pohon yang malang melintang membuat kami berdua tidak bisa berjalan dengan cepat dan akhirnya sampai di pintu rimba jam enam kurang sepuluh menit, dan tepat jam enam sore sampe di entri point jalan raya kebun teh dan suduh pasti mobilnya sudah tidak ada. Saya memutuskan untuk jalan terus hingga ke kampung empat dan mencari kendaraan disana nanti.
Titi dan Rina sampai di jalan kebun teh saat hari sudah gelap dan tak lama kemudian menyusul Ogen, Bang Kamser dan Halida dibelakang, untungnya saya dan Yadoet berhasil mendapatkan mobil sehingga bisa menjemput mereka hingga ke entri point kebun teh, lega karena semua bisa sampai dengan selamat dibawah. Malam ini juga kami langsung kembali ke Palembang, dan hanya mampir sebentar di Rumah Pak anton untuk mengambil barang-barang yang kami titipkan dan langsung menuju loket mobil travel yang telah kami booking untuk kembali ke kota Palembang, karena besok sudah menunggu perjalanan seru lainnya yang tidak kalah menyenangakan yaitu wisata kuliner dan hunting photo di jembatan Ampera.