Pagi yang basah saat bus yang saya tumpangi memasuki terminal bus Wonosobo, masih pagi sekali dan terminal terlihat sepi, teman-teman masih ada yang terbengong-bengong karena baru bangun tidur mungkin tingkat kesadarannya masih setengah. Saya menggendong ransel 80 liter saya menuju bus tiga perempat yang sudah menunggu disamping, bus yang bertrayek Wonosobo – Magelang ini akan kami tumpangi hingga sampai di desa Kledung tempat titik awal pendakian ke Gunung Sindoro di mulai.
Kami berjumlah lebih dari dua puluh orang dan berencana akan merayakan tahun baru 2008 di puncak Sindoro. Tak kala bus melaju tampak sosok Sindoro di sebelah kiri, puncaknya tertutup awan yang menggantung, sepertinya awan hujan. Sekarang musim hujan jadi saya dan teman-teman dah ngga berharap banyak akan mendapatkan cuaca bagus terlebih lagi juga musim badai. Bus terus melaju, hingga akhirnya kami turun di Kledung dan langsung menuju Basecamp Sindoro yang di kelola sekarang oleh seorang pemuda bernama Ragil.
“Mas Ragil ya?” ujar saya saat menyalami seorang pemuda yang keluar dari dalam rumah. “betul mas”, jawabnya sembari tersenyum. “Dari jakarta ya? Berapa orang? Mau naik hari ini?” lanjut pertanyaannya beruntun dan akhirnya saya dan dia tenggelam dalam percakapan mengenai rencana pendakian dan keadaan Gunung Sindoro sekarang, sementara teman-teman mulai sibuk repacking, mengeluarkan barang yang tidak penting untuk di titipkan di basecamp ini karena kami turunnya kembali lewat Kledung ini.
Ini adalah kunjungan saya yang kedua ke gunung ini, yang pertama pada tahun 1988, kondisi Kledung jauh berbeda sekali dengan sekarang, dan menurut cerita Ragil, perladangan penduduk juga sudah jauh naik keatas. Dewasa ini dari Basecamp hingga ke pos bayangan pos 1 bisa ditempuh dengan ojek dengan tariff sepuluh ribu rupiah. Kalau ditempuh dengan jalan kaki kurang lebih 2 jam perjalanan dan terdapat empat pos pada jalur pendakian kledung, hanya pada lokasi pos empat tidak begitu jelas letaknya.
Sekitar jam 9 pagi jalan setapak jalur pendakian menuju pos 1 sudah dipenuhi oleh langkah-langkah kami yang bersemangat. Pendakian kali ini ada dua milis yang bergabung, yaitu milis highcamp yang terdiri dari saya, Dipa, Arif, Rona, Dian, Dwi, Ayip, Ella, Irvan, Anno, Rita, Taufik dan Ephot, dari milis Jejak Petualangan ada Nhanha, Kris, Yani dan Bayu. Disamping Ephot juga ikut teman-temannya enam orang, jadilah rombongan kita telah membuat ramai basecamp Sindoro pagi tadi dan sempat membuat sibuk ibu-ibu disana saat kami memesan makan pagi untuk porsi lebih dari dua puluh orang. Pos 1 ke Pos 2 terasa tidak begitu jauh, mungkin itu hanya bagi saya entah bagi teman-teman yang lainnya, seperti biasa perlahan teman-teman mulai terpecah menjadi tiga kelompok jalan, yang cepat, yang sedang dan yang pelan. Namun target perjalanan kami hari ini adalah Pos 3 disana kami akan mendirikan tenda dan bermalam. Kami ingin melakukan pendakian ini dengan santai dan tidak terburu-buru. Jalur pendakian gunung Sindoro lumayan tajam tanjakannya dan medannya cukup terbuka, sayang kabut terus menemani kami sehingga sosok kembarannya yaitu Gunung Sumbing yang tegak berdiri di belakang arah pendakian kami tidak bisa terlihat.
Sekitar jam 2 siang kami sampai di Pos 3, lokasi pos ini cukup besar dan bisa menampung beberapa tenda kami, meskipun kami tidak bisa berkumpul semua tapi ada setidaknya 6 tenda yang bisa didirikan berdekatan. Masih banyak waktu sebelum gelap, begitu tenda berdiri saya menyantap nasi bungkus yang di beli di kledung tadi, lapar sekali kalo harus masak dulu sepertinya ngga sanggup menunggunya. Dalam hitungan menit nasi bungkus berlauk telor ceplok dan sayu tempe tersebut sudah berpindah keperut saya dan lalu saya meluruskan kaki duduk didalam tenda sementara diluar sana kabut makin tebal, angin mulai bertiup dan benar saja berikut pasti gerimis menyusul, untunglah teman-teman semuanya sudah selesai mendirikan tenda. Dipa mulai aktifitasnya memasak ditandai dengan bunyi panci trangianya yang beradu saat menyiapkan kompor, tenda nya Ella sepertinya juga begitu, saya juga mulai memasak air dengan di bantu oleh Rona. Teh manis panas pasti akan nikmat sekali di suhu yang seperti ini.
“wah lumayan pemandangannya, kabut tersibak dikit nih..!!” teriak seseorang dari luar tenda, saya bergegas membuka pintu tenda yang mengarah persis ke arah Gunung Sumbing, dan bener saja sedikit sosok Gunung Sumbing terlihat dan beberapa kampung dibawah sana, lumayanlah cukup untuk memulai sesi foto-foto, dan tanpa dikomando satu persatu teman-teman keluar dari tendanya dan mulai sibuk dengan cameranya masing-masing. Saya mengedarkan pandangan ke arah puncak, dari pos 3 ini puncak tidak kelihatan tertutup oleh punggungan, yang juga ditutupi kabut dan hanya terbuka sesekali, angin bertiup cukup kencang. Ada sepuluh tenda dari rombongan kami, dua tenda yaitu tenda Dwi dan tenda Yani berada dalam dalam semak belukar agak tersembunyi, satu tenda lagi yaitu tenda Taufik member milis HC dari Malang, berada diatasnya masih dalam rimbun belukar. Kemudian tenda Ephot dan teman-temanya ada disebuah pelataran berdampingan dengan tenda pendaki lain yang bukan rombongan kami, dan enam tenda lainnya berdiri berdekatan di daerah yang cukup terbuka. Pos 3 dipilih sebagai lokasi ngecamp adalah karena hanya di daerah ini yang bisa menampung tenda cukup banyak, selepas pos 3 ini tidak ada lagi tempat yang cukup untuk menampung rombongan sebanyak rombongan kami. Dari Pos 3 hingga kawasan puncak masih berjarak sekitar 5 jam waktu tempuh jadi jika diukur dengan jalan santai kami akan molor menjadi 8 jam. Sindoro tidak ada sumber air, jadi untuk bekal memasak dan minum kami memang sengaja membawanya dari Kledung, jika musim hujan begini terdapat genangan air mirip telaga di dalam kawah. Dan bisa digunakan untuk memasak, jadi untuk persediaan air pas bermalam di kawasan puncak esok hari saya tidak terlalu khawatir.
Cukup lama diluar dan kemudian saya kembali kembali kedalam tenda, “masak apa bang?” Tanya Rona saat duduk didekatnya, “pokoknya yang enak deh” jawab saya sembari nyengir. Lalu mulailah sesi acara masak bersama Rona, Dipa dan Dian hebohnya melebihi acara masak Wok With Yan yang terkenal itu. Diluar juga kabut dan angin tidak kalah hebohnya menemani kami di Pos 3, senja perlahan turun rintik hujanpun kadang turun dan berhenti silih berganti. Rona sigap sekali menyiapkan masakan, nasi sudah tanak dan sekarang giliran lauknya, hari ini kami memasak tumis buncis dicampur jagung muda dan dilengkapi dengan telur serta ikan asin, sosis goreng sebagai pelengkap. Tidak begitu lama kemudian hidangan pun siap disantap, sederhana tapi terasa nikmat sekali. Karena cuaca yang tidak mengijinkan akhirnya kami tidak jadi memasak berbarengan dengan teman-teman yang lainnya. Hujan turun semakin deras, “Nhanha mana perkedelnya..?? dah mateng belum?.!! Teriak saya dari dalam tenda, “udah bang, tapi ambil sendiri nih ngga ada delivery service..” jawab Kris, ya hujan-hujan begini jadi males keluar tenda. Hujan semakin lebat diikuti oleh angin dan suara gledek, tenda saya dan Dipa disatukan dengan sebuah flysheet dan dari sana mengucur deras air hujan, saya menarok beberapa misting dan Dipa menarok jerigen air lipatnya, lumayan setidaknya bisa dipakai masak dan cuci-cuci. Angin yang kencang berubah jadi badai, saya mengintip keluar tenda semua putih tertutup kabut alias zero visibility, brrr…. Angin menyeruak masuk tenda, buru-buru saya tutup lagi, kalo begini gagal deh bikin foto glowing tent sindoronya aku membatin sendiri sembari nyengir. Seiring jatuhnya malam dan hujan makin lebat badai semakin kencang, saya diam didalam tenda yang hanya bergetar di terpa badai, ini adalah pengalaman yang kesekian kalinya bagi saya di hantam badai di gunung. Suara hujan, dan kepakan tenda serta flysheet menjadi musik pengiring tidur malam ini dan perlahan suara tersebut menjadi lenyap seiring dengan lelapnya tidur malam itu.
Hari kedua digunung Sindoro, pagi ini tidak aktifitas lain kecuali seputar masak sarapan pagi dan foto-foto, Kabut hanya sesekali beranjak, “bang sory, gue dan teman-teman ngga jadi ngecamp di puncak, gue nga yakin sama tenda gue bang, jadi nanti muncak lansung turun dan kita mau lanjut ke Dieng” jelas Ephot sambil menjabat tangan saya untuk pamitan. “Ok no problem Phot, take care aja, semua temen elo ngikut ya?” jawab saya sembari melihat kearah teman-teman Ephot yang sudah siap packing dan sudah bersiap hendak muncak. Dan rupanya Yani dan Taufik juga ikut dengan mereka, “gue juga ngga jadi ngecamp di puncak, gue juga ngga yakin sama tenda gue.” Jelas Anno juga mengikuti langkah yang di ambil Ephot. Memang tenda milik Ephot dan Anno ngga cocok dipakai gunung saat cuaca lagi banyak angin begini, karena tenda mereka merupakan tenda camping, kapasitas 4 orang dan konstruksi tendanya cukup tinggi sehingga merupakan sasaran empuk bagi angin. Total yang mundur untuk ngecamp di puncak ada sepuluh orang, sementara sisanya, tetap akan ngecamp di puncak dan merayakan tahun baru disana.
Rute pendakian selepas Pos 3 benar-benar menguras tenaga karena selain curam dengan kemiringan kadang mendekati delapan puluh derajat, juga licin dan berbentuk parit-parit yang terbentuk karena aliran air hujan, jadi bisa dibayangkan jika hujan pasti jalur ini akan menganak sungai dan akan susah sekali untuk di tempuh. Kabut kembali menutupi sosok Sindoro, kami bergerak perlahan menuju puncak, jalurnya makin terjal dan penuh dengan batu-batu licin. “Naiknya enak, turunnya… gawat nih bang..” komentar Rona saat kami melewati satu tanjakan yang cukup terjal. Saya dan rona serta Dwi ada di urutan tengah, sementara di depan ada Ella, Irvan, Dipa dan Dian, dan saya yakin saat ini pasti mereka sudah berada dikawasan puncak sekarang. Mendekati daerah Pos 4 kami bertemu dengan rombongan Ephot dan Anno, mereka bilang puncak berkabut dan badai, setelah ngobrol sebentar lalu mereka turun dan kami bertiga melanjutkan pendakian. “gue nunggu Ayip dulu, elo duluan deh” kata Dwi sembari duduk istirahat, saya melihat kebelakang Ayib memang tidak begitu jauh, jadi kemudian saya dan Rona terus melangkah, “kita harus nguber yang didepan takutnya mereka ngga tau tempat mendirikan tenda” kata saya ke Rona dan dia mengangguk setuju.
Memasuki kawasan puncak badai kecang sekali dan kabut membatasi pemandangan, tapi samar-samar terlihat Dipa dan Dian tengah berusaha mendirikan tenda dan tidak jauh dibawahnya ada Ella dan Irvan melakukan hal yang sama, “Ooiiii, jangan disini disebelah sana ada dataran yang bagus spotnya, kalau elo diriin disini yang lain ngga bakal bisa dan anginnya juga keceng banget..!!” teriak saya sembari berusaha mengalahkan gemuruh suara badai. Benar-benar “the perfect storm” gumam saya dalam hati. Waktu ke merbabu kemaren juga badai tapi badai di Sindoro ini lebih kencang. Setelah membantu ella dan Irfan, kami menuju lokasi camp yang saya temukan disisi sebelah kiri dari puncak. Badai ini pasti akan menyulitkan kami mendirikan tenda, “biar mudah kita dirikan tenda satu-satu dengan jalan keroyokan, jadi tenda akan lebih mudah didirikan, dan jangan lupa pasang tenda dengan benar, patoknya pasang semua termasuk tali-tali guys lines nya”, ujar saya sedikit memberi komando biar teman-teman cepat bergerak. Dan satu persatu tendapun berdiri, “yang kenceng…!!!! Jangan kendor, bikin ngacenggg…!!” teriak saya agar teman-teman memasang tenda dengan benar dan tidak kendor, memasang tenda kendor ditengah badai akan berpotensi tenda tersebut akan robek oleh badai. Produsen tenda membuat tali-tali pengaman dan pasak-pasak pengaman adalah agar tenda bisa berdiri tegak meski badai menerjang. Kegiatan di alam bebas memang cocok sekali membangun semangat team work dan ini terlihat sekali sewaktu kami mendirikan tenda di tengah badai waktu itu, kelihatan sekali siapa yang punya jiwa pemimpin, siapa yang cepat tanggap dan bisa bekerja sama serta akan kelihatan juga siapa yang rada lemot dan daya inisiatif nya lambat seperti kura-kura. Saat mendirikan tenda milik Dwi, ada sedikit keganjilan, benar saja rupanya frame tenda ini terlalu pendek dan tenda ini berdiri sangat tidak sempurna sekali, saya ngga yakin ini tenda bisa bertahan dalam badai yang seperti ini. Ayip yang bawa tenda ini saat saya konfirmasi mengenai pasak dan tali-tali tenda tampak kebingungan, “wah ngga tau nih gue hanya bawa doang..”. apa boleh buat tenda tersebut jadi seperti penyanyi dangdut bergoyang-goyang ditiup angin.
“Dwi…Dwi… oiiiiiiii “ teriak saya melawan suara badai, saya kembali kejalur trek untuk menyusul Dwi yang belum sampai, menurut Ayip Dwi ngga begitu jauh dia tinggalkan tadi, terdengar teriakan sahutan, dan saya bergegas turun sekitar jarak 100 meter saya bertemu Dwi, kemudian dia saya antar hingga ke lokasi ngecamp, badai masih kencang. Saya ajak Kris untuk menemani saya menyusul Arif dan Bayu yang juga belum sampai. Namun di daerah puncak saya bertemu Bayu, “Arif mana Bay?” Tanya saya, “masih dibawa bang,” jawabnya “jauh ngga?” lanjut saya lagi.. “ngga terlalu jauh deh..” jawab dia. “Ok elo ambil terus jalan kekiri dan ntar belok kiri turun ya lokasi camp kita ada di situ, gue berdua mau nyusul Arif dulu.” Jelas saya pada Bayu sembari turun ke jalur setapak bersama Kris untuk menyusul Arif. Kami bertemu Arif juga tidak jauh dari puncak. “sini gue bawain ransel elo” tawar Kris pada Arif, “boleh, thanks ya” Arif menyerahkan ranselnya pada Kris dan bersama kami kembali ke lokasi nenda dan bersama-sama mendirikan tenda Arif.
Selepas mendirikan tenda Arif, hujan gerimis turun, meskipun gerimis kecil tapi karena disertai badai membuat bunyi gerimis tersebut terdengar santer menghempas tenda. Semua sudah di tenda masing-masing, entah apa yang dikerjakan mereka, saya sendiri sudah masuk ke sleeping bag, Rona sedari tadi dah sibuk masak Indomie, “bang aku tadi sempat terkena Hypo ringan, jari tanganku beku semua” kata Rona, “elo kan punya sarung tangan kok ngga dipakai?” tanya saya. Dia Cuma tersenyum sembari mengaduk-aduk mie. Badai kencang masih bertiup suara kepakan tenda Dwi keras sekali terdengar layaknya kibaran bendera, sesekali saya mengintip keluar dari tenda memperhatikan semua tenda, Tenda linchfield nya Nhanha kokoh berdiri, tampak tenda Coleman Arif juga cukup kuat karena diberi pemberat batu pada ujungnya. Sementara tiga tenda lainnya memang dirancang buat badai jadi saya tidak begitu menaruh perhatian. Semakin malam badai terus menghajar tenda-tenda kami. “Arif …. Gue pindah ketenda elo ya…!!” suara teriakan dari tenda sebelah dan ternyata suara Ayip, “Okeeeeeehhhhh” terdengar suara Arif berteriak menjawabnya, “wah bang itu suara Ayip tuh, wah pasti next mba Dwi yang teriak nih..hehehehe” kata Rona sembari nyengir…. Saya hanya senyum dan memang saya sudah perkirakan, karena melihat kondisi tenda Dwi yang sama sekali tidak cocok dalam situasi badai kecang seperti ini. Dan benar saja tak lama kemudian.., “Hendriiiiii, gue pindah ketenda elo…..” teriakan Dwi dan dia dah nongol di pintu vestibule tenda. “ayo masuk Dwi…., sorry masih berantakan” sambut saya. “Gila badainya tenda gue sampai banjir…” keluh Dwi. Badai malam ini memang benar-benar “The Perfect Storm”. Diluar terdengar suara pendaki lain yang baru sampai dan sibuk mendirikan tendanya, sebelumnya ada juga beberapa pendaki lain yang mendirikan tenda persis di belakang tenda saya. “Dimasakin Indomie mau mba?” tanya Rona sama Dwi, “boleh deh” jawab Dwi. Badai terus membuat tenda bergetar, untunglah konstruksi tenda yang memang dirancang untuk pendakian gunung ini bisa tetap membuatnya tegap berdiri.
“Oiii.. tenda Mba Dwi udah kolaps…!!!” teriak sebuah suara dari luar, dan benar saja saat saya mengintip dari pintu tenda terlihat tendanya Dwi sudah rata dengan tanah. “benar-benar the perfect storm” saya kembali bergumam, “Dwi gimana barang-barang elo tuh?” tanya saya ke Dwi, “ngga apa-apa tadi sebelum ke sini sempat gue beresin, paling sisa masakan gue tadi didalam” sahut Dwi. “aduhhh masih hujan ya… pengen kecing nih” keluh Rona yang sedari tadi nahan buang air kecil karena ogah keluar. Tidak berapa lama kemudian Dwi yang selesai makan Indomie, mendadak keluar tenda, rupanya dia juga sudah tidak tahan untuk tidak buang air kecil, dan ternyata hanya hujan gerimis kecil, karena badai yang kencang membuatnya suara seperti hujan lebat saat menerpa tenda. “Oiii ini misting siapa nehhhh…!!!, ketiup-tiup angin..!!” teriak Dwi dari luar, wah gila juga anginnya sampe sanggup menerbangkan panci misting kosong yang ada diluar, begitu tahu hujan tidak begitu lebat akhirnya saya juga jadi kepingin keluar, Rona mengikuti karena juga dari tadi sudah blinsatan untuk buang air kecil. Dari cahaya headlamp saya hanya terlihat putih saja angin kencang sekali, saya memeriksa tenda Dwi, ternyata ada beberapa framenya yang patah. Hanya patok-patok tendanya saja yang membuat tenda ini tetap pada posisinya dan tidak diterbangkan angin. Sekembalinya ke tenda bergelung masuk sleeping bag terasa sangat nyaman sekali. Jarum jam masih menunjukan jam 11 malam. “wah ngga jadi nih pesta kembang apinya hehehehehe..” gumam saya, sementara Dwi dan Rona hanya nyengir.
Tepat jam 00.00 WIB saya meniup peluit badai kepunyaan Dwi…. Sembari membuka sedikit pintu tenda “oooiiiiii selamat tahun baru….!!!!”” Saya berteriak dari dalam tenda dan disahuti oleh Dipa, Kris, dan Arif. Tidak ketinggalan pendaki lainnya yang ada disana juga membalas ucapan tersebut, Dipa membuka pintu tendanya di ikuti oleh Kris. “Kris, Nhanha mana? Dah tidur ya?” tanya saya, “udah bang tewas dia..hehehehehe” jawab Kris. Jadilah perayaan tahun baru itu kami rayakan di dalam suasana The Perfect Storm Sindoro, dan dengan memainkan cahaya headlamp yang membentuk seperti spotlight didalam kabut. Tiba-tiba Dipa nongol di pintu tenda nawarin pudding, “bang nih mau ngga? Puding tahun baru” tawarnya kami menerimanya, “kita juga bikin sih, tau tuh si Rona sukses apa ngga pudding bikinan dia” sahut saya sambil menelan pudding pemberian Dipa. Malam semakin larut sekarang sudah tahun 2008 perlahan dalam hati saya mengucapkan doa agar kehidupan di tahun ini lebih baik di tahun sebelumnya, dan perlahan melelapkan diri, Dwi dan Rona sudah diam dari tadi mungkin sudah berlayar jauh dalam mimpi mereka masing-masing.
Pagi hari, ini adalah hari pertama di tahun 2008, semua teman-teman tengah sibuk berfoto ria, karena pagi ini langit cerah, kabut perlahan tapi pasti menyibak dan pemandangan Sumbing serta nun di belakangnya Merbabu dan Merapi terlihat dibalik samar kabut dan awan, terobosan sinar matahari seperti membentuk lobang diatara ketiga gunung tersebut, pemandangan yang memukau, angin masih berasa cukup kencang. “Gue mau ambil air bang jalannya lewat mana?” tanya Kris, “naik sana terus elo ke arah puncak kemaren dan kemudian turun dari sana” jawab saya, kemudian Kris bertiga dengan Irvan dan Arif pamit untuk mengambil air di kawah. Saya, Rona dan Dwi bersiap untuk memasak sarapan, “Pada masak nasi aja dan kalo ada lauk masak juga ntar kita makan bareng, gue juga mau masak nih..” saya ngasih info sama Nhanha, Dipa dan yang lainnya. Pagi ini cuaca lumayan cerah tapi masih ada sedikit gerimis kabut, awan masih banyak mengantung di beberapa bagian langit, pertanda cerah pagi ini tidak akan lama. Sekitar jam 9 pagi makanan sudah jadi dan buru-buru makan karena takut cuaca akan segera berubah hujan kembali, packing harus sudah kelar disaat cuaca cerah begini.
Pada pendaki lain sudah banyak yang meninggalkan areal ini, kamipun mulai packing sementara sosok Sumbing jelas sekali terlihat, matahari menampakan sinarnya, tapi kadang kembali tertutup kabut dan kadang terbuka kembali. Sekitar jam sepuluh pagi kami sudah siap untuk turun kembali menuju Kledung, setelah sesi bikin foto keluarga di kawasan puncak, satu persatu kembali langkah kami menapaki jalur setapak turun, kabut kembali menutupi wilayah puncak Sindoro. Kledung kami raih disaat matahari sudah condong, sekitar jam 3 sore baru semuanya sampai di basecamp. Saya, dengan arif dan Rona berinisiatif duluan ke Wonosobo untuk membeli ticket bus, nanti nya teman-teman lainya menyusul karena masih ada yang sibuk mandi dan sebagainya, namun rupakanya keberuntungan tidak berpihak pada kami, saat sampai di terminal Wonosobo, Bus AC sudah berangkat bus ekonomi sepuluh menit lagi jalan, “gue baru nyampe Kertek nih” sahut Kris diseberang telpon saat saya menanyakan posisi teman-teman sekarang. Wah dah nga mungkin, akhirnya saat mereka semua dah ngumpul di Wonosobo kami putuskan untuk mencarter angkot hingga ke Purwokerto karena menurut info dari petugas Bus di Wonosobo, di Purwokerto banyak bus hingga jam 12 malam.
Perjuangan mendapatkan trnasportasi untuk pulang di purwokerto juga sangat alot, semua bus penuh, kereta penuh, dari ekxekutif hingga ekonomi… satu kata “PENUH” kami lemes semua ditambah lagi biang kerok supir taksi gelap di stasiun sempat membuat argo emosi saya melonjak tinggi. Akhirnya berkat Irfan yang gigih menanyakan kemungkinan kami untuk dapat tiket kereta berbuah hasil, walaupun harus dapat karcis bediri di kereta bisnis, kami terpaksa ambil, kereta yang super penuh itu akhirnya membawa kami kembali ke Jakarta, saya, Ella, Irvan, Nhanha, Rona, Kris, Arif dan Bayu, bersama kami naik kereta tersebut sedangkan Dian dan Dipa di Wonosobo mereka langsung ke Bandung. Dwi dan Ayip masih jalan ke Dieng. Berdelapan kamu akhinya memasuki Jakarta pada jam 4 pagi dan ternyata Jakarta banjir…..
Bersalaman kami berpisah di stasiun Jatinegara, kembali ke kehidupan normal masing-masing, terima kasih teman bersama kalian menempuh badai Sindoro dan begadang di kereta penuh sesak, sungguh suatu pengalaman yang membuat saya semakin tahu keterbatasan diri ini. “ayo pak jalan..” pinta saya pada supir taksi sembari menyebutkan alamat home sweet home……